Jadwal Meyda Sefira begitu padat Ramadhan lalu. Di tengah kesibukannya mengisi acara Ramadhan di salah pusat perbelanjaan, ia berbincang hangat dengan wartawan Republika. Ia memulai kisahnya dengan menceritakan awal berhijab. "Allah SWT telah memberikan saya banyak kebaikan, lantas saya tidak ingin berterima kasih?" tanya Meyda Sefira, aktris yang juga penulis buku dan motivator Islam.
Keputusan Meyda berhijab diawali ketika masih duduk di bangku kuliah semester empat, tepatnya April 2008. Saat itu, dia merasa Allah SWT sudah memberikannya banyak kebaikan. Memiliki keluarga yang penyayang, orang tua yang begitu hebat, dan pendidikan yang bagus.
Keputusannya berhijab datang ketika ingat akan sang ayah yang begitu mencintainya. Anak ketiga dari lima bersaudara pasangan H Irvin Murad dan Hj Annie Maryani ini tidak ingin berdosa kepada sang ayah. Ketika seorag Muslimah sudah akil baligh, dia wajib menutup auratnya. Kalau tidak, setiap helai rambutnya akan terhitung menjadi dosa sang ayah sebelum dia menikah. Keyakinan itu membuat Meyda memutuskan menutup rapat auratnya.
Banyak Muslimah yang memilih untuk menjilbabkan hati terlebih dahulu, baru menutup rapat auratnya. Meyda tak sepakat. Baginya, tidak ada istilah menjilbabkan hati, hijab itu menjadi penutup aurat bukan hati. Seiring dengan tertutup aurat dengan sempurna, setiap langkah akan mengarah pada pembentukan insan yang lebih baik. "Mungkin saat ini saya belum bisa berhijab syar’i, tapi insya Allah saya berproses menuju syar’i."
Semenjak berhijab, kehidupan baru seolah terbuka bagi Meyda. Dia mendapatkan banyak kebaikan dan berkah dari Allah. Hanya dua bulan berselang setelah berhijab, dia lolos audisi dalam film Ketika Cinta Bertasbih dan menjadi pemeran tokoh Husna. Sejak itu, tawaran sinetron religi juga mulai berdatangan. "Saya selalu berusaha untuk bersyukur," kata Meyda.
Masuk dalam dunia hiburan memang tidak mudah. Apalagi, sebagai aktris berhijab yang tidak mau beradegan mesra. Sejak awal bergabung dengan salah satu rumah produksi, Meyda bersama aktris berhijab lainnya menjadikan itu sebagai syarat utama dalam bermain peran. Mereka menolak berpegangan tangan, berpelukan, atau bersentuhan dengan lawan jenis.
Syarat tersebut tercantum dalam kontrak kerja dengan rumah produksi. Tantangannya ada saat syuting. Penulis skenario terkadang luput memperhatikan ketentuan itu. Meyda tidak langsung meledak ketika menemukan hal yang tidak sesuai dengan prinsipnya. Dia berusaha mengomunikasikannya dengan sutradara dan penulis skenario. Suatu ketika, perempuan kelahiran Bandung, 20 Mei 1988, ini bermain dalam satu sinetron. Di dalamnya terdapat adegan berpelukan dengan lawan jenis. Meyda langsung mendatangi sutradara dan meminta solusi dari adegan tersebut. Kesan romantis masih bisa didapatkan dengan cara lain. "Alhamdulillah, sutradara mengerti komitmen saya," ujar Meyda yang hanya bermain dalam sinetron bernapas religi ini.
Menjadi pemain film juga membuka kesempatan bagi Meyda untuk berbagi pengalaman sebagai Muslimah. Dia sering diundang menjadi pembicara di banyak tempat. Meyda telah berbagi inspirasi hampir ke seluruh Indonesia. Perempuan yang hobi berkebun ini juga menjadikan hal tersebut sebagai motivasi untuk berbenah diri. Pada awal berhijab, dia masih sering menggunakan jeans dalam keseharian. Ia bahkan luput memperhatikan kepatutan dengan mengenakan jeans ketika menjadi pembicara acara motivasi. Meyda tersadar berkat teguran panitia. "Sejak itu, saya menanggalkan jeans dan memilih celana longgar," kata perempuan yang juga hobi naik gunung itu.
***
Babak Baru Kehidupan
Akhir Desember 2013, Meyda merampungkan buku autobiografi berjudul Hujan Safir. Buku tersebut mengisahkan perjalanan hidupnya dan nikmat yang diberikan Allah SWT kepadanya. Buku pertamanya ini tidak semata dibuat untuk mendulang rupiah di luar menjadi seorang aktris.
Buku terbitan MCM Publishing tersebut Meyda persembahkan untuk membantu saudara seiman yang berada di Aleppo, Suriah. Aleppo merupakah sebuah kota yang sedang dilanda konflik sehingga masyarakatnya banyak yang kelaparan. Kejadian pada masa khalifah Umar bin Khatab, yakni seorang ibu memasak batu untuk sang anak terulang pada era modern sekarang ini. Anak-anak terpaksa menggigiti kardus dan kucing menjadi halal di sana. Kenyataan itu membuat Meyda tergerak untuk berbuat. Seratus persen royalti dan lima persen dari harga buku Hujan Safir akan disumbangkan untuk Aleppo.
Selain peduli terhadapa Suriah, Meyda juga aktif dalam gerakan peduli lingkungan. Lulusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional, Bandung, Jawa Barat, ini aktif dalam gerakan pencinta alam kampusnya. Tahun ini dia dinobatkan sebagai Duta Earthhour Kota Bandung. Listrik sangat berperan untuk lingkungan dan bagi masyarakat. Pentingnya penggunaan listrik sesuai dengan kebutuhan berpengaruh pada lingkungan. "Masyarakat tidak bisa hidup tanpa listrik," kata perempuan yang juga aktif di lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) itu.
Sejak menikah dengan Muhammad Jusuf Liga pada April 2014 lalu, Meyda memasuki episode baru dalam kehidupannya. Sebagai seorang istri, dia dituntut harus bisa membagi waktu. "Alhamdulillah, suami selalu mendukung saya dalam tiap pekerjaan," ujar perempuan berdarah Minang ini.
Sang suami saat ini bekerja di Australia. Sebulan setelah menikah, Meyda sudah ditinggal. Hidup terpisah setelah menikah menjadi pilihan mereka berdua. Meyda bukannya tidak ingin ikut suami. "Saya terikat dengan beberapa kontrak pekerjaan yang sudah ditandatangani sebelum menikah hingga setahun ke depan."
Kelak, setelah seluruh pekerjaan di Jakarta rampung, Meyda akan menyusul sang suami ke Australia. Ia bersedia meninggalkan profesinya sebagai aktris apabila sang imam memintanya. "Kalau saya harus memilih antara menjadi aktris, penulis, atau istri, saya akan memilih untuk menjadi istri," katanya. rep:nora azizah ed: reiny dwinanda