Selasa 02 Sep 2014 12:00 WIB
siesta

Tak Ada Kata Terlambat

Red:

Ketiga perempuan berikut tergerak belajar renang saat dewasa. Mereka mengalahkan rasa malu dan takutnya untuk bisa menikmati kesegaran olahraga air yang satu ini. Ada yang memilih kursus dengan instruktur renang dan ada juga yang belajar dengan teman yang pandai berenang. Tertarik mengikuti jejak mereka?

***

Hobi yang Menular

Diyah Triarsari belajar renang saat usianya sudah 21 tahun. Baginya, inilah impian yang berhasil terwujudkan. "Sejak kecil saya ingin bisa berenang, tapi keterbatasan ekonomi membuat saya mengurungkan niat ikut kursus renang," ujarnya.

Pada 1994, kesempatan untuk belajar renang terbuka untuk Diyah yang saat itu ia tinggal di Yogyakarta. Seorang teman sesama perempuan yang jago berenang bersedia menjadi pelatihnya. "Teman saya mengajar secara cuma-cuma jadi saya hanya perlu membeli tiket masuk kolam renang saja."

Diyah mengaku tidak malu belajar berenang pada usia yang tak lagi kanak-kanak. Menurutnya, tidak ada kata terlambat untuk belajar. Lantas, demi kenyamanan berlatih, ia memilih hari yang paling sepi. Bagaimana rasanya belajar renang? "Ternyata tak gampang," kenang perempuan yang berprofesi jurnalis ini.

Diyah mengingat bagian paling sulit untuk diatasinya ialah menghadapi rasa takut berada di dalam air. Selama rasa takut masih menguasainya, tak banyak kemajuan yang dicapainya. "Setelah beradaptasi, semuanya jadi lebih mudah," kata Diyah.

Dalam dua bulan, Diyah menguasai cara mengatur napas, bisa meluncur, dan mulai mencoba gaya dada. Setelah setahun belajar, ia  pede berenang di kolam standar olimpiade. "Lama-lama bisa tuh," ujarnya bangga.

Setelah bisa berenang, Diyah menjadi sangat menyukai olahraga renang. Ia rutin berenang seminggu sekali di kolam renang Universitas Negeri Yogyakarta yang fasilitasnya lengkap. "Di sana ada kolam standar olimpiade dan kolam loncat indah."

Sampai sekarang, Diyah masih hobi berenang. Berdomisili di Jakarta, ia paling senang main ke Damai Indah Golf Bumi Serpong Damai (BSD) yang salah satu kolam renangnya sudah standar olimpiade. "Renang itu selain bikin sehat juga membuat pikiran lebih rileks. Nikmat sekali rasanya saat menyelam di dalam air," komentarnya.

Hobi Diyah pun menular ke keluarganya. Sang kakak dan adik termotivasi untuk bisa berenang. Mereka mendaulat Diyah sebagai pelatihnya. "Soalnya mereka lihat saya menjadi lebih ramping setelah rutin berenang."

Sukseskah Diyah menjadi pelatih? Rupanya, kunci keberhasilan tak mutlak berada pada kepiawaian instruktur. Motivasi yang kuat dan kepercayaan diri perannya tak kalah penting. Buktinya, sang kakak lebih lancar berenang berkat kepribadiannya yang ambisius. "Adik saya masih belum bisa karena takut tenggelam dan repot kalau tiap kali belajar harus bawa kaki katak dan pelampung," ungkap Diyah.

Piawai berenang, Diyah menganggap perjuangannya dulu sepadan dengan kenikmatan yang didapatkannya. Ia tak mempermasalahkan kulit yang menggelap akibat terbakar sinar mentari saat belajar renang. Mata yang terasa perih akibat terkena kaporit pun bukan penghalang untuk mengasah keterampilan renangnya. "Kala itu saya belum mampu membeli kacamata renang."

***

Termotivasi Oleh Anak

Siti Khofifah belajar berenang pada usia 34 tahun. Ketika itu, anandanya sudah kelas dua sekolah dasar. "Kesempatan, keinginan, dan keberanian belajar renang baru muncul tahun 2010," ujar perempuan yang akrab disapa Opie ini.

Kala itu, anak Opie ikut les renang privat di sebuah kolam renang untuk umum di daerah Pulomas, Jakarta Timur. Ia menyertakan anaknya ke les renang setelah melihat si kecil agak malas bergerak. Satu-satunya aktivitas fisik yang disukainya hanya bermain air. "Saya ingin buah hati tetap sehat dengan berolahraga."

Begitu anandanya sudah bisa berenang, Opie termotivasi untuk belajar renang. Apalagi, si kecil sering mengajaknya berenang dan ia tak pernah bisa ikut nyemplung. "Sebelumnya saya termasuk orang yang sangat takut air," ujar Opie.

Kondisi kesehatan membuat Opie makin bersemangat untuk belajar renang. Ia ingin terlepas dari penyakit vertigo yang menderanya pada 2006 sampai 2007. Dokter menyarankannya untuk rutin olahraga. Sebelum bisa berenang, ia memilih senam.

Tekad Opie makin bulat setelah sering bertemu dan mengobrol dengan ibu-ibu yang sudah sepuh. Mereka rutin berenang sebagai bentuk terapi untuk penyakit yang dideritanya. Di antara mereka ada yang kena stroke ringan sampai cukup berat, osteoporosis, maupun pengapuran tulang. Dokter menyarankan mereka untuk melakukan terapi renang secara rutin. "Mereka bilang, berenang merupakan olahraga yang cukup aman, termasuk untuk orang-orang lanjut usia," ujar perempuan kelahiran Tangerang, 17 Oktober 1976 ini.

Belajar renang pada usia dewasa, Opie tidak merasa risih. Terlebih, instrukturnya juga perempuan dan banyak peserta lain yang usianya lebih tua. Perempuan yang bekerja sebagai Tim Asistensi Bawaslu RI ini belajar renang pada pagi hari supaya kolam masih belum ramai. "Di situ kolamnya tidak khusus perempuan jadi saya lebih nyaman belajar di jam yang paling pagi, yakni pukul tujuh pagi."

Pertama kali nyemplung, Opie ketakutan. Gara-gara panik, ia sampai lupa mengatur napas dan terminum air kolam. Butuh satu bulan untuk mengatasi rasa takutnya. Sebulan pertama, dosen tidak tetap di salah satu universitas swasta di Jakarta Timur ini hanya celup-celup kepala dan belajar napas. Itu pun harus dipegang terus oleh guru lesnya. "Waktu itu, iuran kursusnya Rp 250 ribu per bulan untuk empat kali pertemuan."

Seminggu sekali berlatih, Opie mulai jago renang dalam tiga bulan. Sejak itu, ia rutin berenang, minimal seminggu sekali. Dengan rajin berenang ia merasa lebih fit, jarang terkena pilek, dan lebih bersemangat dalam beraktivitas. Napasnya pun tak lagi mudah tersengal. Bagaimana dengan vertigonya? "Penyakit itu pun sudah tidak pernah mengganggu," ujarnya semringah.

***

Belajar Lagi

Anggi Gayatri serius belajar berenang ketika usianya sudah 22 tahun. Sebetulnya, ia pernah belajar renang di sekolah saat masih remaja, namun tak sampai mahir. Ketika itu muridnya banyak dan guru olahraganya hanya satu. "Akhirnya saya belajar dengan metode one-on-one," katanya.

Sekitar empat bulan kemudian, Anggi bisa gaya dada. Setelah itu berlatih sendiri untuk melancarkan gerakannya di air. "Setelah bisa gaya dada, saya tidak belajar gaya yang lain karena saya merasa itu saja sudah cukup," ujar perempuan kelahiran Jakarta, 10 Mei 1984 ini.

Keinginan untuk menjadikan renang sebagai olahraga alternatif membuat Anggi tekun belajar berenang. Ia bosan menjalani jenis olahraga lainnya. Selain itu, ia termotivasi karena melihat kakaknya sudah bisa berenang. Ia juga mendengar cerita ibundanya yang juga baru belajar berenang secara serius pada usia yang tak pula muda. "Jadi, saya yakin saya juga bisa berenang walaupun baru belajar ketika sudah dewasa," ucapnya.

Kursus berenang, Anggi mengeluarkan Rp 250 ribu untuk empat kali pertemuan dalam sebulan. Biaya ini tidak termasuk biaya masuk kolam renang. "Saya tak malu baru belajar renang ketika dewasa."

Anggi bersyukur mendapat guru yang baik dan sangat sabar. Ia berlatih di kolam renang dekat rumahnya. Di sana, kolamnya tidak khusus perempuan. "Instrukturya bapak-bapak yang biasa mengajar renang."

Menurut Anggi, belajar berenang cukup menyenangkan. Awalnya, ia sempat takut. Apalagi, sebelum benar-benar bisa berenang, ia pernah diajak masuk ke kolam dengan kedalaman dua meter. "Meski didampingi instruktur rasanya tetap saja gamang, tapi secara umum menyenangkan."

Selain rutin berlatih dengan instruktur, Anggi kerap latihan sendiri. Ia mengulang materi yang telah diajarkan. Latihan yang pertama adalah mengatur napas ketika berenang. Berikutnya, ia belajar meluncur. Setelah bisa meluncur, ia mencoba meluncur diikuti gerakan kaki. Begitu menguasai meluncur dengan gerakan kaki, ia mulai belajar berenang dengan gerakan tangan. "Lalu, saya mencoba menyinkronkan antara gerakan tangan dan kaki sambil mengambil napas."

Setelah lancar berenang di kolam 1,25 meter, instruktur membawa Anggi ke kolam dengan kedalaman dua meter. Staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini memerlukan waktu sekitar empat sampai lima bulan untuk berani dilepas melewati kolam dua meter.

Serius belajar berenang, Anggi senang bukan main. Akhirnya ia bisa berenang, tidak hanya "main air" atau berendam saja di kolam renang. Ia pun memiliki alternatif dalam berolahraga. "Tak ada dukanya, paling hanya sedih kalau saat mau renang di kolam outdoor tiba-tiba hujan."

Anggi berpendapat, olahraga renang sangat menyehatkan. Dengan berenang, orang akan belajar mengoordinasikan gerakan tangan, kaki, dan pengaturan napas. "Selain itu, kita juga belajar untuk tetap tenang walaupun kita tahu tempat kita berenang cukup dalam."  rep:desy susilawati ed:reiny dwinanda

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement