Potret desa dan penduduk abyaneh seolah membawa kami kembali ke masa lalu.
Lipatan Pegunungan Karkas mulai terlihat dari kejauhan. Berderet-deret dilatari langit biru dan awan-awan tipis. Sopir mobil yang kami sewa berbelok mengikuti petunjuk papan nama bertuliskan Abyaneh. Jalanan mulai sempit dan berkelok-kelok, tapi beraspal mulus. Sepanjang mata memandang hanya ada bukit-bukit kecil tandus. Kendaraan pun tak banyak melintas. Desa Abyaneh tersembunyi jauh di antara lereng-lereng gunung. Lokasinya sekitar 80 km dari Kota Kashan.
Foto-foto:Dok Afifa Ahmad
Mendekati gerbang masuk, rumah-rumah berwarna cokelat kemerahan mulai terlihat. Pantas saja, situs-situs wisata menyebut desa yang berusia lebih dari 1.500 tahun ini dengan the Red Roofs. Warna kemerahan berasal dari tanah lempung merah yang digunakan untuk melapisi batu bata. Petugas jaga menghentikan mobil dan menyodorkan tiket masuk sebesar 50 ribu riyal. Setelah menanyakan rute perjalanan, sopir mobil yang kami tumpangi kembali menyusuri kelokan jalan yang semakin tajam.
Suasana masih sepi saat mobil tiba di parkiran desa. Udara desa sungguh segar. Angin bertiup cukup kencang, padahal kami datang di musim panas. Pada musim dingin, salju turun lebat di tempat ini. Kami berjalan mendekati sebuah bangunan yang disebut Karavansara atau penginapan zaman dahulu. Kini, bangunan itu sudah dialihfungsikan menjadi museum antropologi. Sayangnya, museum itu sedang tutup. Sepertinya, memang harus observasi langsung melihat kehidupan desa paling tua di Iran tersebut.
Keunikan Desa Abyaneh
Dua orang nenek berjalan dengan pakaian adat khas Abyaneh, blus warna terang dipadu rok hitam dan kerudung bermotif bunga-bunga merah. Hampir semua perempuan di sini mengenakan kerudung dengan motif yang sama. Sangat kontras dengan cara berpakaian perempuan Iran saat ini yang lebih memilih warna gelap. Keunikan inilah yang membuat nenek-nenek penduduk asli desa menjadi incaran kamera wisatawan. Tidak mudah sebenarnya mera yu mereka untuk difoto. Beberapa situs bahkan menulis, sebagian besar mereka enggan difoto.
Awalnya, saya pun berkali-kali mendapat penolakan. “Maukah difoto?” tanya saya pada dua nenek yang berjalan tadi. Keduanya mengucapkan sesuatu yang tidak bisa saya pahami. Penduduk Abyaneh memang masih menggunakan bahasa Farsi lama. Tapi, isyarat tangannya menunjukkan kalau mereka keberatan. Saya pun tidak putus asa sambil diam-diam terus mencari kesempatan.
Tiba-tiba, serombongan turis bule datang, suasana desa pun menjadi riuh. Mereka menyebar di gang-gang sempit. Warga desa yang tadinya enggan difoto sudah sulit menolak dan akhirnya membiarkan para turis membidikkan kameranya berulang kali. Tentu saja, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Wajah lansia mereka yang dibalut baju warna-warni terlihat unik. Sebagian besar mereka memperlihatkan poni rambut, tapi ada juga yang menutup rapat.
Anehnya, selama menyusuri desa yang banyak saya jumpai adalah wajah-wajah lansia. Melihat potret desa dan penduduk Abyaneh, seolah kami kembali ke masa lalu. Menariknya, meski desa ini berusia ribuan tahun dan jauh dari jangkauan kota, listrik sudah merambah desa terpencil ini. Saya perhatikan, kabel-kabel yang menjuntai di tiap gang dan meteran listrik yang dipasang di tiap rumah.
Ketuaan desa semakin terasa saat kami mulai jauh menyusuri rumah demi rumah di antara gang sempit Abyaneh. Jendela dan pintu rumah yang sudah lapuk dimakan usia justru menyuguhkan kesan artistik. Balkon rumah yang berbahan dasar kayu juga cukup menarik. Sebagian besar rumah-rumah di Abyaneh terbagi dua, lantai bawah untuk musim dingin dan bagian atas untuk musim panas. Beberapa rumah juga terlihat sudah direnovasi dengan mempertahankan ide awal bangunan. Rumahrumah baru terlihat lebih rapi dan tetap meninggalkan kesan klasik.
Bukti ketuaan Abyaneh juga dapat dilihat dengan adanya peninggalan kuil api yang diperkirakan kembali ke masa Sasanid, dinasti Persia sebelum masuknya Islam. Sampai sekarang, kuil tersebut masih dijaga, tapi sudah berubah fungsi. Dari atas bangunan, tidak ada lagi api yang menyala karena sejak lama penduduk Abyaneh sudah memeluk agama Islam.
Di bagian bawah bangunan kuno itu digunakan untuk berniaga oleh penduduk setempat. Mereka menjual berbagai kerajinan tangan dari perhiasan perak, tenunan, sampai pernak-pernik buah tangan. Saat saya melewati lorong bangunan, terlihat turis-turis sedang mengerumuni penjual kerajinan. Saya sempat melihat-lihat kerudung lebar khas daerah setempat, tapi urung membeli karena harganya cukup mahal. Akhirnya, saya hanya membeli lavasak, buah-buahan masam yang dikeringkan.
Jejak Islam di Abyaneh
Seiring penyebaran Islam ke dataran Persia, desa-desa di Iran pun lambat laun bersentuhan dengan budaya Islam. Simbolsimbol keagamaan terlihat jelas dengan adanya sejumlah masjid, salah satu yang terkenal adalah Masjid Jami. Sa yangnya, saya kurang beruntung karena masjid itu sedang tutup. Padahal, saya ingin sekali melihat bagian mihrabnya yang bersejarah.
Menurut keterangan, di dalam mih rab itu terdapat hiasan dinding berbentuk bunga dan surah Yasin yang masih ditulis dalam bahasa Arab kufi. Dari penampakan gerbang luarnya, mas jid itu memang sudah terlihat sangat tua. Tidak jauh dari permukiman penduduk, dapat dijumpai makam para ulama keturunan Arab yang dihormati, di antara yang ramai di kunjungi adalah makam Imamzadeh Yahya dan Isa.
Kompleks makam ini terletak di sebe lah se latan desa. Menurut keterangan, mereka ada lah para penyebar awal Islam. Biasanya, turis-turis lokal yang lebih banyak berkunjung. Sebab, ke banyakan masyarakat Iran memang ge mar mengunjungi makam para ulama, seperti tradisi di sebagian masya rakat Indonesia yang juga senang berziarah ke makam para wali.
Simbol keislaman lainnya dapat di lihat pada dekorasi rumah-rumah penduduk. Di bagian atas pintu rumah terdapat tulisan Arab mulai lafal basmalah sampai lafal-lafal Arab lainnya, seperti Allah, Muhammad, dan sebagainya. Ke beradaan simbol-simbol Islam, ma kam ulama, dan masjid di antara kuil tua desa itu seolah mengabarkan bah wa Islam pun datang dengan damai ke Persia.
Menjelang siang, saya mulai berkemas me ninggalkan desa bersejarah Abyaneh. Raut wajah tua berbalut kain warna-warni melepas kami dengan tatapan khasnya. Entah sudah ribuan turis yang datang dan pergi, tapi mereka seolah menjadi penunggu abadi. Mobil yang kami sewa bergerak menjauhi perkampungan. Rumah-rumah berdin ding tanah liat itu mulai samar disapu bukit-bukit tandus. Kini, yang terlihat hanya jalanan aspal kecil diapit pe gunung an. Saat kembali melintasi Kota Kashan, kami melewati sebuah situs penting yang sayang untuk dilewatkan, yaitu Bagh-e Fin. ¦
Bagh-e Fin, Taman Tertua Iran
Bila di Abyaneh kita dapat menyaksikan desa tertua, tak jauh dari pusat Kota Kashan, kita juga akan disuguhi kompleks taman bersejarah Bagh-e Fin. Taman ini sering dijuluki sebagai taman tertua di Iran karena diperkirakan sudah ada beberapa abad sebelum Masehi. Tapi, struktur bangunan yang berdiri saat ini merupakan peninggalan dinasti Islam Safavi sekitar abad ke-16. Selama ratusan tahun, taman ini digunakan sebagai tempat peris tirahatan keluarga kerajaan. Berpindah dari satu dinasti ke dinasti lainnya hingga pemerintahan Qajar abad ke-19.
Salah satu keistimewaan Bagh-e Fin adalah sistem irigasinya yang kompleks. Awalnya, saya menduga, air itu keluar dari pipa-pipa buatan. Tapi, ternyata air tersebut bersumber dari mata air Sulaymaneh yang konon berusia 7.000 tahun. Keistimewaan mata air ini, tidak pernah kering sepanjang tahun meskipun musim kemarau. Suhu air pun relatif tetap, sekitar 25 derajat Celsius. Pada musim dingin, air akan terasa hangat. Begitu juga sebaliknya.
Giatsuddin Jamshid dengan sempurna mendesain air yang dialirkan melalui sistem bawah tanah (Qanat) ke permukaan taman. Paritparit kecil berundak dibangun sebagai jalan air yang menghubungkan beberapa kolam di sekitarnya. Di dalam kolam dan parit sendiri terdapat lubang-lubang tempat keluar air yang dibuat secara tradisional, bukan sistem mekanik.
Keberadaan air telah menyulap wilayah kering ini menjadi taman yang indah. Kini, kompleks taman ini selalu ramai dikunjungi wisatawan, apalagi sejak dinobatkan menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO.
Naik Apa Habis Berapa?
Sejauh pengetahuan saya, belum ada transportasi publik yang memadai ke Desa Abyaneh dari Kota Kashan. Hanya ada minibus yang biasa mengangkut penduduk lokal dan taksi sharing, itu pun masih jarang. Biasanya, para pengunjung datang secara rombongan dengan bus atau mobil pribadi. Untuk lebih menghemat biaya, kita bisa berangkat dari Tehran ke Kashan dengan bus umum yang bertarif 15 ribu toman. Barulah dari Kashan bisa naik taksi sharing atau menyewa mobil. Tapi, karena kami sebelumnya mampir ke Kota Qom, kami menyewa mobil dari kota ini pulang-pergi 180 toman atau sekitar 58 dolar AS. Bila menyewa mobil dari Kota Kashan, biayanya akan lebih murah, sekitar 30 dolar.
Bagi pengunjung yang akan menginap dan menikmati kehidupan Desa Abyaneh lebih jauh, tersedia hotel berbintang maupun hotel lokal setempat. Tapi, menurut pengalaman saya, kunjungan desa bisa dilakukan dalam sehari. Lebih baik mencari peng inap an di Ka shan karena di kota itu sendiri banyak objek wisata lain yang bisa dikunjungi. ed : nina chairani
Oleh Afifah Ahmad
Traveler, Tinggal Di Teheran