Senin 06 Oct 2014 14:00 WIB

Waspada Penyakit Musim Panas

Red:

Hawa panas dan kering semakin terasa belakangan ini. Debu pun beterbangan karena hujan lama tidak turun. Kondisi cuaca semacam ini sudah sepatutnya membuat masyarakat lebih waspada.

Kondisi lingkungan yang berubah biasanya akan berdampak pada kesehatan masyarakat. Badan mungkin akan terasa tidak nyaman setiap terjadi pergantian cuaca. Guru besar Fakultas Kedokteran, bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM, Siswanto Agus Wilopo, menjelaskan, saat terjadi perubahan suhu pada lingkungan, tubuh akan mengalami proses adaptasi secara fisiologis.

Pada musim kemarau, suhu udara akan menjadi panas. Pada kondisi ini, tubuh merespons secara homeostatis untuk menyesuaikan suhu tubuh dengan lingkungan. "Mudahnya, coba rasakan saat kita keluar dari ruangan ber-AC, ketika di luar udara lebih panas pasti akan merasa seperti masuk angin, nggregesi kan?" tuturnya, Kamis (2/9). Hal itu adalah reaksi otomatis tubuh yang wajar karena tubuh sedang melakukan penyesuaian. Tubuh biasanya merespons dengan pembuluh darah yang membesar atau dengan cara pembakaran kalori.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Adhi Wicaksono/Republika

Hanya, terkadang reaksi itu tidak disertai dengan kondisi tubuh yang baik. Akibatnya, perubahan suhu akan dirasa tidak nyaman bagi tubuh. Kondisi itu ditambah dengan keadaan lingkungan yang tak higienis bisa membuat orang jatuh sakit. Selain itu, pada saat cuaca kering, debu dan pencemaran lain menjadi mudah muncul. Hal ini tentu akan rawan bagi mereka yang memiliki alergi.

"Mak,a saat kemarau, penyakit, seperti alergi dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), akan semakin mudah muncul, yang asma juga menjadi tambah berisiko," ujar Siswanto. Musim panas, kata dia, juga bisa meningkatkan daya serang virus. Terlebih, virus beterbangan bercampur debu dan mudah menyebar saat kemarau yang berangin.

Siswanto menyebut influenza sebagai virus yang paling sering menyerang. Selain itu, virus yang ditularkan oleh nyamuk juga diuntungkan dengan cuaca panas dan lembap. "Karena, pada saat udara panas, jumlah nyamuk akan semakin banyak," kata dia. Ia mengatakan, kasus malaria dan demam berdarah biasanya semakin banyak ketika suhu udara meningkat.

Bukti terbarunya, seiring tejadinya pemanasan global, serangan malaria semakin ganas di beberapa wilayah, seperti Amerika Latin dan Afrika. Kedua wilayah itu termasuk wilayah terkering saat terjadi kemarau. Siswanto menambahkan, wilayah kering memang berisiko memunculkan banyak penyakit.

Ia menjelaskan, kekeringan biasanya identik dengan kebersihan yang kurang terjaga karena sumber air menjadi semakin sulit didapat. Akibatnya, bukan hanya virus dari nyamuk penyakit, seperti diare dan sakit tenggorokan, pun ikut merajalela. "Air bersih makin sulit, akibatnya warga memakai air yang kotor," jelas dia.

Hal ini bisa dilihat pada dua wilayah yang relatif kering, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Gunung Kidul, Jawa Tengah. Pada kurun waktu 2001-2004, kejadian diare pada musim kering di dua wilayah itu melonjak tinggi. Puncaknya terjadi pada kurun waktu Oktober-November. "Memang di rumah sakit pun pada bulan-bulan itu biasanya ada peningkatan jumlah pasien," katanya.

Melihat kasus yang terjadi, Siswanto mengimbau masyarakat untuk lebih menjaga kebersihan lingkungan. Terlebih, kerusakan lingkungan yang berdampak pada pemanasan global semakin membuat iklim tidak menentu. Akibatnya, tubuh kerap sulit beradaptasi. Pemetaan waktu penularan penyakit pun menjadi semakin sulit diprediksi. "Masyarakat semakin menderita dengan suhu naik turun tidak menentu begini," katanya.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI Tjandra Yoga Aditama berpendapat, perubahan iklim dalam bentuk apa pun akan berdampak bagi kesehatan. Terlebih, dengan adanya perubahan cuaca ekstrem seperti saat ini. Kewaspadaan akan penyakit harus semakin ditingkatkan.

"Perubahan iklim dunia dewasa ini mengakibatkan terjadinya anomali cuaca, seperti hujan yang sering terjadi pada musim kemarau," katanya. Kondisi alam saat ini berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Dampak yang akan terlihat adalah kasus kekurangan gizi atau malnutrisi pada masyarakat. Kasus gagal panen pun semakin banyak di tengah anomali cuaca seperti sekarang.

Ia menjelaskan, dengan peningkatan temperatur dua-tiga derajat Celsius, jumlah penderita penyakit tular vektor, seperti demam berdarah, akan meningkat sebesar tiga-lima persen. Dalam hal ini, peningkatan temperatur akan memperluas penyebaran penyakit. Selain itu, naiknya suhu juga membuat perkembangan dan pertumbuhan parasit menjadi infektif.

Yang patut pula dicermati, perubahan iklim pada gilirannya akan memicu berkurangnya keanekaragaman hayati. Akibatnya, bahan baku obat dari tumbuhan pun semakin langka. Ekosistem rawa dan mangrove yang berubah dapat menyebabkan pola penyebaran vektor penyakit berubah pula.

Degradasi lahan dan perubahan fungsi ekosistem dapat menurunkan sumber daya air yang akan berdampak pada keterbatasan akses air bersih dan sanitasi. Minimnya air bersih selain meningkatkan risiko terjadinya diare, juga biasanya menyebabkan timbulnya penyakit kulit. "Ketika terjadi kekurangan air, waspadai wabah penyakit menular, seperti leptospirosis, diare, dan kolera," ujarnya.

Perubahan suhu ekstrem

Menghadapi alam yang terus berubah, Siswanto mengungkapkan, ada beberapa tindakan preventif untuk menjaga kondisi tubuh. Pertama, masyarakat dianjurkan untuk memakai masker saat berada di lingkungan yang kotor. Hal ini akan meminimalisasi debu dan virus dari udara untuk masuk melalui hidung.

Masyarakat juga dianjurkan untuk menghindari perubahan suhu mendadak. Misalnya, dengan berpindah-pindah dari ruang yang bersuhu dingin ke ruangan dengan temperatur tinggi.

Paling penting dari semuanya, ia meminta agar masyarakat membiasakan gaya hidup sehat. Imbauan yang tak pernah bosan, yakni menjaga kebersihan, rajin berolahraga, banyak istirahat, dan mengonsumsi makanan bergizi. "Cara-cara itu membuat tubuh menjadi lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan," katanya. Sementara, Tjandra mengingatkan perilaku hidup bersih yang mudah dilakukan salah satunya dengan mencuci tangan memakai sabun. Masyarakat juga diingatkan agar memberantas jentik nyamuk di lingkungannya.

rep:c69 ed: wulan tunjung palupi

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement