Pagi itu, Arcadia Novianti (24 tahun), seorang karyawan swasta di Jakarta, tampak sangat gelisah ketika menunggu kedatangan kereta Commuter Line. Namun, ternyata kegelisahannya tersebut bukan karena takut terlambat tiba di kantornya, melainkan lupa membawa tisu dan cairan pembersih tangan (hand sanitizer).
Bagi sebagian orang, kegelisahan yang dialami oleh Arca bisa dibilang cukup aneh. Namun, kondisi ini ternyata cukup mengganggu aktivitasnya pagi itu. Soalnya, kegelisahan Arca hingga membuat tubuhnya gemetar dan mengeluarkan keringat berlebihan.
"Kereta pagi hari pasti penuh, saya harus berdiri dan berpegangan pada gagang kereta. Gagang kereta kan kotor. Saya biasa melapisi gagang tersebut menggunakan tisu sebelum saya genggam. Kalau tisu atau hand sanitizer ketinggalan, saya menjadi panik," ungkap Arca, beberapa waktu lalu.
Menanggapi kondisi yang dialami oleh Arca, psikolog anak dan keluarga dari Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta, Roslina Verauli MPsi, mengungkapkan, kondisi tersebut bisa jadi sebagai suatu gejala dalam golongan fobia. Ciri khasnya, kata dia, adalah ketakutan seseorang yang berlebihan pada suatu hal.
"Jenis fobia itu ada banyak. Semua ketakutan berlebih kita bisa sebut dengan fobia. Namun, pada kasus ini jenisnya bisa disebut dengan mysophobia atau fobia kontaminasi. Di mana pada kondisi tersebut, pasien menjadi insecure pada lingkungan sekitar, takut terkontaminasi bakteri, virus, maupun barang tertentu," kata Vera menjelasakan kepada Republika di Jakarta, Senin (11/1).
Rasa ketakutan berlebih tersebut, menurut Vera, bahkan dapat menimbulkan orang itu menghindari kontak fisik dengan siapa pun. Termasuk untuk berjabat tangan, memegang gagang pintu, dan enggan menggunakan fasilitas umum lainnya akibat takut terkontaminasi kuman.
Penderita mysophobia dalam fase akut, jelas dia, biasanya akan mengalami gemetar, jantung berdebar-debar, berkeringat, atau bahkan menangis ketika dirinya merasa terkena kotoran atau kuman bakteri. Segala jenis fobia termasuk mysophobia, berkaitan dengan gangguan mental obsesif-kompulsif (OCD).
Salah satu gejala yang paling umum dari mysophobia adalah sering mencuci tangan, yang juga merupakan gejala dari OCD.
Namun, motivasi mencuci tangan ini berbeda. Jika orang yang OCD terdorong untuk meringankan penderitaan yang dialaminya dengan mencuci tangan, orang dengan mysophobia dipaksa oleh pikirannya untuk menghilangkan kuman.
Di Indonesia sendiri, para penderita mysophobia sebenarnya tidak terlalu banyak, seperti juga di Amerika Serikat (AS) dan negara berkembang lainnya. "Orang yang menderita gangguan ini memiliki ketakutan yang irasional akan suatu hal yang sebenarnya tidak menakutkan. Sebenarnya tidak terlalu berbahaya bagi dirinya, jika gangguan tersebut tidak tergolong akut dan membuat orang tersebut menjadi gagal fungsi dalam sebuah situasi," kata Vera melanjutkan.
Mysophobia dan jenis fobia lain, hingga saat ini belum ada penelitian lebih lanjut mengenai penyebab pastinya. Namun diduga, faktor trauma masa lalu dan manivestasi alam bawah sadar yang diterjemahkan dalam bentuk simbol yang berbeda dari orang tersebut bisa menjadi penyebabnya.
Sementara untuk faktor keturunan sendiri, juga cukup berperan sebagai penyebabnya karena gangguan kecemasan dari orang tua dengan taraf yang cukup tinggi bisa jadi ditiru oleh anak. Namun, terlepas dari kebiasaan meniru, secara genetik sebuah kecemasan berlebih memang sangat mungkin diturunkan oleh orang tua.
Senada dengan Vera, psikolog klinis dari klinik kesehatan Light House, Tara Adhisti de Thouars BA MPsi, mengungkapkan, fobia biasanya bisa dialami sejak usia sekolah. Saat usia remaja, utamanya, adalah masa mekanisme emosi seseorang sudah mulai kompleks.
"Tapi, terkadang anak-anak juga bisa takut berlebih. Namun, pada anak kecil biasanya objeknya langsung ada, misalnya takut dikejar anjing, atau takut dengan badut. Hal ini masih tergolong wajar karena mekanisme emosi anak belum kompleks," kata psikolog lulusan Universitas Indonesia tersebut.
Dalam hal ini, kata dia, peran orang tua penting dalam membuka pikiran anak terhadap hal yang ditakuti itu tidak terlalu menakutkan. Ini berguna, agar nantinya tidak timbul gangguan ketakutan berlebihan terhadap sesuatu ketika anak tumbuh dewasa.
Untuk mengatasi fobia ini, menurut Tara, terdapat berbagai terapi, di antaranya adalah hipnoterapi, desentiasi sistematis (secara perlahan mendekatkan pasien dengan benda yang ditakuti), konseling, psikoterapi, serta cognitive behaviourial therapy (CBT). Selain itu, jika sudah masuk dalam fase akut, biasanya terapi yang digunakan juga membutuhkan bantuan obat-obatan sesuai dengan anjuran dokter maupun psikolog.
"Kalau sudah akut, kami sarankan untuk mengunjungi dokter atau psikolog. Sehingga, nantinya baik dokter maupun psikolog dapat membantu mendorong pasien untuk mengeksplorasi hal yang ditakutinya, jadi pasien juga bisa mengontrol hal tersebut melalui pikirannya," kata Tara menutup. n ed: dewi mardiani