Senin 18 Jan 2016 13:00 WIB

Atasi Gangguan Fungsi Pendengaran

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

APRILIA SAFITRI RAMDHANI 

Gangguan pendengaran dapat berdampak pada lingkungan sosial, emosional, serta pekerjaan.

Sabtu malam di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan adalah hari yang paling ditunggu oleh si kembar Reno dan Rival (25 tahun).

Bagaimana tidak? Hari tersebut merupakan kesempatan mereka untuk berkumpul dan bernostalgia bersama dengan seluruh teman satu angkat annya di sekolah menengah atas (SMA).

Suasana saat itu cenderung ramai.

Hal ini membuat Reno justru menjadi gelisah. Walaupun senang akan bernostalgia, rupanya dia masih merasa canggung saat harus bertemu dengan teman lama semasa sekolahnya dahulu. Soalnya, dulu dia kerap dipanggil dengan sebutan si Bolot.

Saudara kembarnya, Rival, mengakui hal tersebut karena memang kakak nya punya masalah dalam gang - guan distorsi pendengaran. Kondisi itu membuat Reno mengalami kesulitan mendengarkan apa yang disampaikan orang lain di tempat yang ramai. 

\"Dia sering dikatainsi Bolot waktu di sekolah dulu. Ternyata, ketika diperiksa ke dokter, kakak saya memang menderita gangguan fungsi pendengar an pada telinga bagian dalamnya.

Tapi, gangguan tersebut masih digo - longkan dalam kategori ringan oleh dokter,\" kata Rival kepada Republika di Jakarta, pekan lalu.

Gangguan pendengaran merupakan ketidakmampuan secara parsial atau total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga.

Gangguan pendengaran tergolong masalah kesehatan yang bisa menghambat aktivitas. Untuk itu, dibutuhkan metode evaluasi yang dapat memberikan informasi mengenai aspek gang - guan pendengaran ini dalam kehidupan sehari-hari, yakni berupa percakapan dengan disertai suara latar. 

Dalam sidang disertasinya, dr Siti Faisa Abiratno SpTHT mengungkap kan soal gangguan pendengaran ini. Menurut beberapa penelitian, gang guan pendengaran ini dapat berdam pak terhadap lingkungan sosial, emo sional, serta lingkungan pekerjaan. Akibatnya, kata Siti Faisa, adalah menurunnya kualitas sumber daya manusia. 

Masalah inilah yang membuat banyak pakar kesehatan di bidang pendengaran terus meningkatkan usaha untuk mengatasinya. 

\"Saat ini, para dokter ahli audiologi atau spesialis THT terus berupaya meningkatkan usaha deteksi dini, pencegahan, metode diagnosis, dan juga program rehabilitasi gangguan fungsi pendengaran. Terutama, gangguan pendengaran yang sulit disembuhkan dengan obat maupun operasi,\" jelas ibu empat orang anak ini. 

Menurut hasil penelitian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

pada 1998, prevalensi gangguan pendengaran di Indonesia menduduki peringkat keempat dunia di antara empat negara Asia lain. Negara-negara tersebut, seperti Sri Lanka (8,8 persen), Myanmar (8,4 persen), India (6,3 persen), dan Indonesia (4,6 persen). 

Sementara, pada 2011, WHO mela - porkan prevalensi penduduk dunia yang mengalami gangguan pendengar - an kebanyakan terdapat di negara berkembang.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan pendengaran. Beberapa di antaranya disebabkan oleh rusaknya salah satu atau beberapa bagian dari telinga luar, tengah, atau dalam, faktor genetik (bawaan bayi ketika lahir), terlalu banyak mengonsumsi obat antibiotik, pernah mengalami trauma atau pendarahan di telinga, dan akibat kelainan saraf pada telinga. 

Gangguan pendengaran, kata Siti Faisa, tidak bisa diatasi hanya dengan mengonsumsi obat. Namun, pasien harus didiagnosis oleh ahlinya dengan menggunakan alat-alat kedokteran.

Terdapat empat tipe gangguan pendengaran, yakni gangguan pendengaran sensorineural akibat hilangnya atau rusaknya sel saraf (sel rambut) di dalam koklea (rumah siput) yang bersifat permanen. Gangguan pendengaran konduktif akibat adanya masalah di telinga luar atau tengah yang menyebabkan tidak terhantarnya bunyi dengan tepat ke telinga dalam.

\"Dua tipe gangguan lainnya adalah gangguan pendengaran campuran yang merupakan gabungan pendengar an sensorineural dan konduktif, serta gangguan pendengaran saraf yang merupakan gangguan pada saraf sehingga tidak dapat mengirim sinyal ke otak sebagai sebuah respons,\" lanjut Faisa. 

Maka, katanya, gangguan distorsi pendengaran ini sedikit banyak menye - babkan seseorang menjadi kesulitan mendengar, terutama di tempat yang ramai. Guna mendeteksi gangguan tersebut, ternyata tidak cukup dengan melakukan tes audiometri pendengaran nada murni maupun audiometri tutur diskriminasi kata. Kedua tes tersebut harus dilakukan di ruangan sunyi dan kedap suara. 

Sebagai dokter yang peduli akan masalah pendengaran di Indonesia, Faisa menyimpulkan perlu adanya tes audiometri tambahan yang diberi nama Hearing in Noise Test (HINT).

Berbeda dengan dua tes sebelumnya, tes ini justru dilakukan di sebuah ruangan dengan suara latar per - cakapan manusia.

Tes ini berguna untuk membantu para dokter dalam memprediksi seberapa parahnya gangguan pendengar - an seseorang dan seberapa besar fungsi peranan alat bantu dengar. Tes terse but memberikan bantuan bagi dokter untuk tindakan yang tepat bagi pa siennya.

"Saya berharap tes audiometri yang saya kembangkan ini ke depannya segera mendapatkan hak paten (HAKI)

sebagai bagian dari sumbangan intelektual yang dapat membantu para ahli medis dalam mendeteksi gangguan pada organ telinga seseorang," kata dia. (ed: dewi mardiani)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement