REPUBLIKA.CO.ID, Puluhan tahun lalu, Jember 'hanyalah' sebuah kota kecil. Hanya ada satu hotel yang dibangun setiap lima tahun sekali. Siapa sangka, kini Jember dikenal sebagai kota karnaval sekaligus kota fashion. Bukan hanya di Indonesia, kota di Jawa Timur ini bahkan disetarakan dengan Rio de Janeiro sebagai kota karnaval di level dunia. Baru-baru ini, wartawan Republika Dwi Murdaningsih dan Zaky Al Hamzah mewawancarai Presiden Jember Fashion Carnaval (JFC) Dynand Fariz sebagai penggagas Jember sebagai kota karnaval dunia.
Bagi masyarakat Jember, kegiatan JFC merupakan berkah tersendiri. Saat JFC dihelat setiap tahunnya, ratusan ribu orang datang ke daerah berpenduduk 2,3 juta jiwa itu. Mereka berbondong-bondong datang untuk menyaksikan JFC.
Terus meningkatnya kunjungan wisatawan karena pergelaran JFC direspons pengusaha setempat dengan membangun dua hotel setiap tahunnya. Tahun ini, JFC sudah menginjak usianya yang ke-13.
JFC digelar rutin di bulan Agustus. Jutaan pasang mata yang merupakan warga lokal dan wisatawan tumpah-ruah menangkap magnet JFC. Bahkan, ratusan fotografer, baik yang amatir maupun profesional, personal maupun berasal dari media asing dan lokal, saling berebut mencari momentum indah Kota Jember saat JFC. Pertunjukan spektakuler Jember pun berubah menjadi pesta rakyat dengan sajian desain-desain fashion yang unik dan detail.
Dynand Fariz mengatakan, jika dunia fashion berkiblat di Paris, Prancis, dan perhelatan karnaval berkiblat di Rio de Janeiro, Brasil, maka JFC menggabungkan keduanya. “Jadi, ini tidak ada di mana pun. Kita harus kuat di dalam fashion-nya dan karnavalnya,” ujar Dynand.
Dynand kini sudah bisa berbangga karena kreasi JFC-nya telah menjadi ajang yang selalu dinantikan. Setiap kali jadwal pertunjukan tahunan itu diumumkan, masyarakat sudah mulai mengatur jadwal cuti dan memesan tiket pesawat demi menyaksikan pertunjukan tersebut.
Dari acara yang sudah digelar di tahun-tahun sebelumnya, penonton JFC tak kurang dari 300 ribu orang. Mereka rela berbaris berdesakan di sepanjang 3,6 kilometer dari pusat Kota Jember untuk menyaksikan karnaval yang luar biasa.
Menengok ke belakang, kemampuan Dynand mengkreasikan semua itu berasal dari otodidak saja. Tak ada sekolah khusus. Soal fashion, alumni Seni Rupa IKIP Surabaya ini memang menyukai bidang fashion dan desain.
Setelah lulus dari IKIP, Dynand “belajar” di sekolah mode Esmod Jakarta dan sempat dikirim ke Paris. Di sana, dia menjadi pengajar mode bertaraf internasional. Sampai kini, Dynand masih menjadi pengajar di Esmod Jakarta.
Soal belajar karnaval, ide karnaval mendunia ternyata berawal dari silaturahim keluarga saat hari raya Idul Fitri. Anak ke-8 dari 11 bersaudara ini tak ingin event silaturahim hari raya hanya diisi dengan salam-salaman biasa.
Keluarga besar Dyland pun berencana melakukan “sesuatu” agar acara silaturahimnya lebih meriah. Keluarga dengan 11 anak dan jumlah ponakan yang tidak sedikit itu, menurutnya, menjadi modal dasar untuk melatih insting manajemen.
Alhasil, terlontarlah ide membuat acara, mulai dari lomba karya ilmiah dan berbagai presentasi. Acara yang dikemas indoor itu kemudian berkembang menjadi outdoor. Keluarga besar itu berkeliling dari rumah saudara satu ke saudara lainnya dengan “sedikit berdandan”.
Sejak saat itu, di setiap momen lebaran, keluarga Dyland menjadi bahan omongan. Lalu, terbentuklah komunitas karnaval. Karnaval dari gang ke gang. Karnaval ala kadarnya, tapi dipersiapkan dengan serius. Tak menggunakan modal besar, hanya baju-baju yang dihias. “Komunitas ini makin besar dan bertambah banyak, mulai dari satu atap, satu kota, satu provinsi, sampai mendunia,” ujarnya.
Makin banyaknya komunitas ini pun memacu desainer-desainer muda. Mereka secara intensif dilatih menjadi profesional menciptakan model kostum yang unik. Anak-anak sekolah yang berniat mengikuti karnaval ini bahkan harus menabung untuk membuat kostum idaman mereka.
Mencari keuntungan tidak menjadi hal yang prioritas dalam mengelola karnaval ini. Yang terpikir di benak
Dynand adalah menciptakan event yang bisa memiliki brand cukup baik. Hasilnya kini bisa dilihat bahwa Jember telah bermetamorfosis dari kota yang sepi menjadi kota fashion.
Tahun ini kali pertama event JCF diselenggarakan selama enam hari. Akan ada berbagai pameran, mulai art wear, pameran fotografi, dan ditutup parade dengan tema Betawi. n ed: eh ismail