REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan DPR tak kunjung menemukan solusi payung hukum terkait percepatan pemilukada yang berbarengan dengan Pemilu 2014. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan percepatan pelaksanaan pemilukada tak akan memangkas masa jabatan incumbent.
Menurut Ketua KPU Husni Kamil Manik, landasan hukum pemilukada sudah sangat jelas, tegas, dan terperinci. “Periodisasi pemilu, termasuk pilkada, dilakukan sekali dalam lima tahun,” kata Ketua KPU Husni Kamil Manik, di Jakarta, Senin (15/4).
Husni, merujuk pada UU 32/2004 Pasal 86 Ayat 1, mengatakan pemilihan kepala daerah diselenggarakan paling lambat satu bulan sebelum masa jabatan berakhir. Artinya, pelaksanaan pemungutan suara dapat dimajukan lebih dari satu bulan tersebut.
Dengan syarat, masa jabatan kepala daerah incumbent tak dikurangi. Kepala daerah yang terpilh dalam pemilukada mesti menunggu pelantikan sampai habis masa jabatan kepala daerah terdahulu.
Husni juga mengungkit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pada pasal 5 ayat d disebutkan, KPU sebagai pelaksana pemilihan mempunyai tugas dan wewenang menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye serta pemungutan suara pemilihan.
Dengan begitu, penetapan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilu, termasuk pemilukada, merupakan kewenangan penuh KPU. “Tidak ada pihak lain yang dapat membatalkannya,” ujar dia.
Dengan kewenangan KPU tersebut, menurut Husni, lembaganya tak memerlukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mempercepat pemilukada.
Skenario yang dirancang KPU tersebut sejalan dengan keinginan Kemendagri. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, percepatan pemilukada tak akan memangkas masa jabatan kepala daerah. Pasalnya, pemenang pemilukada yang dipercepat tak langsung dilantik, melainkan menunggu masa jabatan incumbent selesai.
Selain itu, menurut Direktur Fasilitasi Kepala Daerah, DPRD, dan Hubungan Antar Lembaga Kemendagri Dodi Riyatmadji, penundaan pelaksanaan pemilukada juga bakal melanggar undang-undang. “Memundurkan jadwal pemilukada pada 2015 dan menunjuk pelaksana tugas (Plt) sebagai pengganti kepala daerah sama dengan melanggar undang-undang,” ujar Dodi kemarin.
Kemendagri berkukuh percepatan pemilukada tetap membutuhkan landasan hukum. Namun demikian, pemerintah enggan memilih perppu sebagai payung hukum percepatan pemilukada.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, hingga saat ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum merespons permintaan ketua Komisi II untuk mengeluarkan perppu. Menurut dia, sikap Presiden itu sebenarnya sangat wajar lantaran syarat dikeluarkannya perppu kalau keadaan sedang gawat atau genting.
Tanpa alasan kuat dan darurat yang bisa dipertanggungjawabkan, Presiden tidak bisa sesukanya menuruti permintaan DPR. “Solusinya tetap kita mempercepat penyelesaian Rancangan Undang-Undang Pilkada untuk disahkan bulan depan,” ujar Djohermansyah.
Dia menjelaskan, belum selesainya pembahasan RUU Pilkada karena pandangan pemerintah dan DPR terkait sejumlah isu krusial belum mencapai titik temu. Di antaranya, mencakup pelaksanaan pemilukada langsung atau dipilih lewat DPRD dan sistem kepala daerah paket atau maju sendiri.
Belum adanya payung hukum berdampak pada terganggunya tahapan pemilukada yang maksimal dihelat Oktober 2013. Idealnya, enam bulan sebelum pelaksanaan pemilukada, penyelenggara pemilu sudah bekerja.
Di pihak lain, DPR mendesak pemerintah segera mengeluarkan perppu. “Ini dalam keadaan darurat, pemerintah harus segera mengeluarkannya,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR RI Hakam Naja, Senin, (15/4).
Perppu, ujar Hakam, sangat dibutuhkan karena RUU Pemilukada belum selesai dibahas. Antara pemerintah dan DPR masih banyak yang belum sepakat mengenai pasal-pasalnya. Ia mengkhawatirkan dengan tak diterbitkannya perppu justru akan menjadi bumerang bagi pemerintah.
Rencananya, terang Hakam, pada 2013 ini akan diselenggarakan pemilukada di 152 daerah. Itu termasuk 43 daerah yang dimajukan setahun pelaksanaannya karena berbarengan dengan Pemilu 2014.
Menurut dia, DPR tak mempermasalahkan percepatan pemilukada. Toh, masa jabatan kepala daerah tak dipangkas. Yang lebih urgen di bahas adalah soal payung hukum percepatan tersebut.
Pengamat politik Charta Politika Arya Fernandes juga menentang penundaan pemilukada. Ia menyatakan, pelaksana tugas (Plt) kepala daerah sebagai konsekuensi penundaan bisa memberi keuntungan politis. Kepala daerah Plt bisa berlaku curang menggunakan jaringan yang dimiliki untuk memobilisasi massa. n c51/erik purnama putra/dyah ratna meta novia/ m akbar wijaya ed: fitriyan zamzami
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.