REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah menetapkan persentase defisit terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Perubahan 2013 sebesar 2,5 persen.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang PS Brodjonegoro memastikan penghitungan defisit telah dilakukan dengan matang. “Pokoknya ujungnya itu 2,5 persen,” kata Bambang saat ditemui di kantornya, Jumat (10/5).
Bambang menjelaskan defisit 2,5 persen merupakan kombinasi dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, pemotongan belanja kementerian/lembaga (K/L), dan penambahan pembiayaan melalui penarikan surat utang pemerintah. Penurunan potensi pendapatan negara dari target yang ditetapkan juga telah diperhitungkan. “Intinya sudah dihitung semua,” kata Bambang.
Sebelum perubahan, persentase defisit terhadap PDB dalam APBN 2013 tercatat 1,65 persen. Perinciannya, pendapatan negara ditargetkan Rp 1.529,67 triliun dan belanja negara dengan pagu Rp 1.683 triliun. Sedangkan, dalam APBNP 2012 defisit terhadap PDB sebesar 2,23 persen dengan rincian pendapatan negara Rp 1.358.2 triliun dan belanja negara Rp 1.588.3 triliun.
Menurut Bambang, rencana kenaikan harga BBM akan diikuti dengan kebijakan pemberian kompensasi langsung kepada masyarakat miskin. Meskipun demikian, Bambang belum dapat menyebut penghematan anggaran yang diperoleh apabila harga per liter dinaikkan dari Rp 4.500 ke Rp 6.000. Alasannya, perubahan subsidi BBM tidak hanya berkaitan dengan volume. Sebab, perubahan volume pun harus diperhatikan perubahan kurs rupiah terhadap dolar AS maupun harga minyak mentah Indonesia (ICP).
Terkait pemotongan anggaran K/L, Bambang tidak dapat menyebutkan besaran pemotongannya. Untuk detailnya, Bambang menyebutkan hal itu menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Angka tetapnya harus dicari angka yang cocok bagi setiap K/L.
Bambang menjelaskan penambahan pembiayaan yang terlampau banyak akan membawa kesulitan tersendiri. Oleh karena itu, penambahannya tidak akan terlampau banyak. Apabila penambahannya dianggap cukup besar, dia mengkhawatirkan cost dari surat utang tidak optimal. “Kondisi sekarang untuk surat utang masih bagus. Nanti penerbitannya akan kita kombinasi asing dan domestik,” ujar Bambang.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono menilai defisit 2,5 persen terhadap PDB wajar adanya. Apalagi, situasi perekonomian saat ini relatif tertekan. Lagi pula, defisit maksimal sebagaimana yang dibolehkan dalam UU Keuangan Negara adalah tiga persen. “Jadi, 2,5 persen cukup moderat,” ujar Tony.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar menyatakan pemerintah sebenarnya berharap defisit tidak sampai lebih dari 2,4 persen. Kendati demikian, dengan defisit yang tetap terjaga di bawah tiga persen, risiko fiskal dari kelebihan belanja subsidi energi dan bantuan sosial tidak terlalu tinggi.
“Kalau lebih dari itu (tiga persen) maka akan menimbulkan risiko tersendiri,” ujar Mahendra. Mahendra melanjutkan bahwa pemerintah mengajukan perubahan APBN karena adanya asumsi makro yang tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Selain itu, kemungkinan penambahan kompensasi akibat rencana kenaikan harga BBM bersubsidi juga memengaruhi keuangan negara.
Untuk itu, ia mengharapkan APBN Perubahan dapat mengantisipasi kebijakan terkait BBM dan adanya perbedaan indikator ekonomi makro tanpa membahayakan defisit anggaran serta menimbulkan risiko baru. n muhammad iqbal/antara ed: eh ismail
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.