Ahad 12 May 2013 07:46 WIB
Konflik Kamboja

Oposisi Kamboja Minta AS Jatuhkan Sanksi

Pemimpin Kamboja Hun Sen
Foto: Reuters
Pemimpin Kamboja Hun Sen

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Pemimpin oposisi Kamboja mendesak Amerika Serikat agar menjatuhkan sanksi terhadap sosok kuat Hun Sen jika pemilihan yang akan datang tidak berjalan dengan adil. Pemimpin itu mengambil Myanmar sebagai contoh tentang bagaimana tekanan asing bisa berhasil.

Kamboja akan menggelar pemilihan pada 28 Juli. Namun, Hun Sen telah memimpin negara itu sejak 1985 dan saingan utamanya, Sam Rainsy, dilarang maju ke persaingan karena terkena sejumlah hukuman yang disebut pihak oposisi dilatarbelakangi dengan motif politik.

Rainsy, yang hidup di pengasingannya di Prancis untuk menghindari hukuman penjara, dalam kunjungannya di Washington mengatakan bahwa ia mendesak kekuatan-kekuatan AS dan Eropa agar mengupayakan sanksi-sanksi terarah terhadap Hun Sen untuk membuat posisinya tidak sah jika suara pemilihan diwarnai dengan rekayasa. “Harus ada peringatan yang jelas kepada rezim Hun Sen bahwa pemilihan semu tidak akan berjalan seperti biasa,” kata Rainsy dalam wawancara dengan AFP, Kamis (9/5). Ia menyatakan telah menyampaikan pesan yang sama kepada para anggota parlemen AS.

“Kalau Hun Sen berpura-pura menang dalam pertandingan tinju, sementara ia hanya bertinju sendirian, kemenangannya tidak berarti,” kata Rainsy. Rainsy mengatakan, tindakan utama harus diarahkan pada larangan pemberian visa kepada para pejabat tinggi dan bahwa ia menentang sanksi-sanksi yang bisa melukai masyarakat biasa Kamboja.

“Hun Sen sangat menginginkan legitimasi, bepergian (bersama) keluarga dan kroni-kroninya,” katanya.Menurut dia, dengan menjalankan proses melarang kunjungan (visa), hal itu akan membuat Hun Sen berpikir dua kali.

Rainsy mengatakan, Kamboja telah menjadi “geladak tak bertuan di Asia Tenggara” pada saat Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma, sedang menuju reformasi demokratik setelah beberapa dekade berada di bawah pemerintahan militer. Myanmar juga mendapat imbalan berupa diakhirinya sebagian besar sanksi oleh negara-negara Barat.

“Burma telah memperlihatkan kemajuan politik sementara Kamboja berjalan ke arah sebaliknya. Jadi, sanksi-sanksi yang pernah dialami Burma juga harus dijatuhkan kepada Kamboja jika reformasi demokratis dan reformasi pemilihan tidak diterapkan,” katanya.

Rainsy, yang baru-baru ini melakukan lawatan ke Myanmar untuk bertemu tokoh oposisi Aung San Suu Kyi, mengatakan, Kamboja bahkan akan lebih bereaksi terhadap tekanan karena ketergantungan tinggi Phnom Penh terhadap bantuan internasional.

Myanmar mengalami pengucilan selama beberapa dekade dan para pengamat menganggap negara itu melakukan reformasi sebagai bagian untuk mengurangi ketergantungannya yang tinggi terhadap Cina-negara yang juga memiliki hubungan dekat dengan Kamboja.

Hun Sen baru-baru ini mengatakan, ia akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai perdana menteri saat ia berumur 74 tahun, sebelum kemudian ia mengatakan akan terus menjabat sampai umur 90 tahun. Pemimpin Kamboja tersebut saat ini berumur 60 tahun, namun secara resmi mendaftarkan umurnya sebagai 62 tahun-yang menurutnya hal itu karena adanya kesalahan pengetikan.

Hun Sen telah memperingatkan bahwa Kamboja berisiko kembali ke situasi perang jika oposisi menang, terkait tekad Rainsy untuk mengadili anggota-anggota kabinetnya atas tuduhan memiliki peran dalam rezim pemusnahan etnis Khmer Merah. Amerika Serikat telah mengkritik Kamboja yang melarang Rainy mengikuti pemilihan dan mendesak Kamboja untuk memastikan bahwa pemungutan suara berlangsung secara adil. n antara ed: syahruddin el-fikri

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement