REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Partai politik (parpol) yang terbukti menerima aliran dana dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) terancam dibekukan atau dibubarkan. Hal itu disampaikan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (11/5).
Menurut Tama, sebagaimana amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, parpol sebagai korporasi bisa dibekukan atau dicabut izinnya bila terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang.
Tama menjelaskan, korporasi yang dimaksud adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik yang berbadan hukum atau bukan. Meski korporasi tersebut tidak terlibat dalam TPPU, menurutnya, Pasal 5 dan 6 UU Nomor 8/2010 memberikan celah bagi pengusutan aliran dana yang diterima korporasi, yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil TPPU.
“Jika masuk ke parpol maka parpol itu bisa dikenakan pidana denda, dibekukan, hingga dicabut izinnya,” ujarnya menanggapi banyaknya kader parpol termasuk pengurusnya diduga terlibat praktik korupsi.
Saat ini, sejumlah elite pengurus parpol sudah ditetapkan sebagai terdakwa dan juga tersangka kasus korupsi. Dari Demokrat, terdapat nama Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Hartati Murdaya, Andi Mallarangeng, hingga Anas Urbaningrum. Dari Golkar ada Zulkarnaen Djabbar, dari PKS ada Luthfi Hasan Ishaaq, PAN ada La Ode Nurhayati, dan lainnya.
Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, setidaknya ada tiga faktor partai politik bisa dibubarkan. Yaitu, pembubaran oleh partai itu sendiri, partai tersebut anti terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan parpol menganut paham komunisme dan ateisme yang tidak sesuai dengan asas Pancasila. “Ketiga hal tersebut bisa menjadi dasar pembubaran partai,” katanya, Sabtu (11/5).
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan, hanya pemerintah yang bisa melakukan pencabutan izin dan pembubaran parpol. “Namun, agak susah karena di Indonesia sistemnya berasal dari pemerintah,” kata Saldi kepada Republika, kemarin. Apalagi, terangnya, orang-orang partai juga menjadi pejabat eksekutif. Dan, beberapa partai juga tergabung dalam koalisi sekretariat gabungan (setgab).
Selama ini, menurut Saldi, kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pengurus parpol sudah banyak terjadi. Bahkan, secara terang-terangan beberapa fungsionaris partai penguasa telah dibui lantaran terlibat korupsi. Dan, ia tak menampik bila ada aliran dana ke parpol.
Jika kasus yang menimpa mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, dikaitkan dengan aliran dana TPPU, Saldi berharap, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyelidiki parpol lainnya.
Menanggapi sinyalemen pembubaran parpol bila terindikasi melakukan TPPU, Ketua DPP PKS Indra enggan mengomentarinya. “Itu masalah hukum, biar lawyer kami yang jawab. Yang jelas, konsistensi PKS dalam pemberantasan korupsi bisa dilihat,” kata Indra. Yang terpenting, kata dia, dugaan aliran dana itu harus bisa dibuktikan. “KPK jangan tebang pilih,” kata anggota Komisi III DPR ini.
Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mengatakan, dalam kasus korupsi mantan presiden PKS, dalam dugaan adanya tindak pidana pencucian uang, bisa ditelusuri. “Kalau dia sudah dijadikan tersangka, ya pasti ada pencucian uang,” kata Agus.
Untuk tindak pencucian uang yang diduga dilakukan LHI terjadi di PKS, menurut Agus, harus ditelusuri lebih teliti. Sebab, transaksi ke rekening korporasi jarang dilakukan.
Sementara itu, di sela-sela rapat internal Majelis Syuro DPP PKS di Jalan TB Simatupang, Wasekjen PKS Fahri Hamzah menegaskan, pihaknya akan melaporkan KPK ke Mabes Polri, Komite Etik KPK, dan DPR RI.
Fahri mengatakan, pelaporan itu terkait tindakan penyidik KPK yang dinilai salah prosedur dalam penyitaan kendaraan di kantor DPP PKS. Laporan itu diharapkan bisa memperjelas persoalan antara PKS dan KPK terkait masalah penyitaan itu, apakah kendaraan tersebut merupakan hasil pencucian uang dari tersangka korupsi impor daging sapi, Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah. n c51/c91 ed: syahruddin el-fikri
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.