REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) menilai, kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah gula di perbatasan dengan mengimpor gula mentah (raw sugar) tidak tepat. Apegti akan melaporkan masalah tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua umum Apegti M Natsir Mansyur menjelaskan, tiga perusahaan yang diberikan izin impor, yaitu PT PG Rajawali III (pabrik Gula Gorontalo), PT Industri Gula Nusantara (IGN), dan PT Eka Tunggal Mandiri. Ketiganya merupakan perusahaan berbasis memproduksi tanaman tebu, tapi bukan industri gula rafinasi raw sugar.
Menurutnya, kebutuhan raw sugar lebih cocok untuk keperluan industri, bukan gula kristal putih (GKP) yang biasa dikonsumsi. Dia juga menilai, ketiga perusahaan tersebut tidak berpengalaman dalam hal distribusi, biaya transportasi, dan sarana pergudangan.
Dia menambahkan, kejadian ini bukan yang pertama kali. Kasus serupa terjadi pada tahun lalu. “Saat itu ada sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perdagangan yang diberi izin impor gula dan ternyata bermasalah,” ujar Natsir saat dihubungi Republika di Jakarta, Ahad (12/5).
Natsir juga mempertanyakan mengapa Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan izin impor gula sebanyak 240 ribu ton. Padahal, lanjutnya, menurut perhitungan dirjen perdagangan Kemendag bahwa impor untuk enam provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Aceh, Kepulauan Riau, Sulawesi, dan Maluku hanya membutuhkan 95 ribu ton gula. “Artinya ada selisih sebesar 145 ribu ton dan itu untuk siapa?” tanyanya.
Karena merasa ada kemungkinan penyimpangan, lanjutnya, Apegti saat ini tengah menyiapkan data-data mengenai masalah ini untuk dilaporkan kepada KPK. Mengenai disparitas harga juga menjadi sorotan Apegti.
Saat ini, lanjutnya, harga gula yang dikirim dari Pulau Jawa sebesar Rp 15 ribu per kilogram (kg). “Sedangkan, harga selundupan dari negara tetangga hanya Rp 10 ribu (kg). Padahal, secara kualitas sama,” tuturnya.
Dia khawatir, apabila pemerintah tidak bisa menekan disparitas harga maka penyelundupan terus terjadi. Akibatnya, pendapatan negara dari bea masuk gula menjadi hilang karena rakyat lebih banyak membeli gula selundupan. Jadi, tambahnya, kebijakan pemerintah untuk kebutuhan gula murah kali ini kurang tepat.
Sementara itu, menteri perdagangan Indonesia Gita Wirjawan mengatakan, sudah ada beberapa perusahan yang dipilih untuk memasok kebutuhan gula di perbatasan.
“Mengenai protes (terhadap) kapabilitas perusahaan yang diberi izin impor akan kami pelajari,” ujarnya kepada Republika di sela-sela inspeksi mendadak di Pasar Klender SS, Jakarta Timur, Ahad.
Sebelumnya, Kemendag mengabulkan izin impor raw sugar untuk wilayah perbatasan di enam provinsi. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Bachrul Chairi mengatakan, dari permintaan 130 ribu ton, diperkirakan hanya 93 ribu ton yang dibutuhkan untuk daerah perbatasan dan terpencil. n c62 ed: zaky al hamzah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.