REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretariat Jenderal DPR Winantuningtyas Titi membantah tudingan mengenai enam proyek ganjil di DPR. Menurutnya, setiap proyek di DPR telah melalui proses lelang yang transparan. Titi mengatakan, proses lelang dilakukan secara terbuka. "Tidak mungkin ada permainan lelang. Sebab, kita sudah gunakan sistem LPSE (layanan pengadaan secara elektronik)," kata Winantuningtyas ketika dihubungi Republika kemarin.
Titi menyatakan, dalam setiap lelang pengadaan barang dan jasa pihaknya selalu memenangkan perusahaan yang mengajukan penawaran harga terendah. Menurutnya, tidak mungkin Sekretariat Jenderal DPR memenangkan perusahaan dengan penawaran harga tertinggi. "Tidak mungkin kami lakukan itu," ujar Titi.
Sebagai pimpinan Sekretariat Jenderal DPR yang baru, Titi mengaku telah berusaha mengikuti prosedur dalam berbagai proyek DPR. Dia mengaku telah bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan BPKP dalam transparansi penggunaan anggaran. "Ini sebagai upaya kami membentuk birokrasi yang bersih," katanya.
Kerja sama dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), menurut Titi, penting untuk menentukan proyek mana saja yang mesti diteruskan dan mana yang tidak. Dia mencontohkan, proyek sistem konferensi di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara II dibatalkan atas rekomendasi BPKP.
Berbeda dengan Titi, Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Marzuki Alie justru menyerahkan ke KPK guna menyelidiki setiap proyek di DPR. Jika ada proyek dirasa ganjil, Marzuki menilai, lembaga hukumlah yang paling berhak untuk memberi penjelasan ke publik. "Korupsi, yang menindak penegak hukum. Makanya kita dorong penegak hukum," ujarnya kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (14/5).
Pria yang juga Ketua DPR ini mengaku prihatin dengan berbagai dugaan proyek ganjil DPR. Dia mengaku tidak berdaya menghadapi persoalan dugaan korupsi, termasuk yang terjadi di DPR. "Saya sedih, tapi juga tidak bisa bertindak," kata Marzuki.
Dalam kesempatan itu dia mengimbau setiap pihak di DPR agar punya rasa malu bila hendak berbuat melanggar hukum. Marzuki menyatakan, persoalan korupsi ini sudah sering dia sampaikan dalam berbagai pidato. "Harapan saya ada rasa malu," katanya.
Sebelumnya, Forum Indonesia Untuk Transparasi Anggaran (Fitra) mengungkapkan adanya enam proyek ganjil di DPR. Proyek tersebut di antaranya adalah perbaikan pendingin udara di Gedung Nusantara I DPR sebesar Rp 16 miliar dan pergantian trafo senilai Rp 2 miliar.
Berbeda dengan penjelasan Sekretariat Jenderal DPR, Fitra menemukan perusahaan pemenang tender proyek di DPR justru mengajukan penawaran harga tertinggi. Fitra mencontohkan, proyek pergantian trafo Gedung DPR 2013 memenangkan PT APU yang mengajukan anggaran sebesar Rp 2.086.143.000. Padahal, masih ada perusahaan yang memiliki penawaran lebih murah, seperti PT ONP sebesar Rp 1.983.480.235 dan PT TJUT sebesar Rp 2.061.171.000.
"Yang lebih mengherankan, proyek pengadaan trafo sudah pernah dilakukan pada tahun anggaran 2011 dengan harga perkiraan sementara sebesar Rp 2.091.106.000," ujar Koordinator Fitra Uchok Sky Khadafi.
Proyek penggantian mesin pendingin di Gedung Nusantara I DPR juga dinilai Uchok tidak masuk akal. Pasalnya, proyek ini menelan anggaran Rp 16 miliar dan ongkos pemeliharaan alat pendingin sebesar Rp 8 miliar. "Yang paling aneh, proyek mereka selalu ada yang bernama anggaran untuk pemeliharaan. Tapi kok kalau sudah dibeli dan jadi milik pemerintah, selalu rusak, atau diganti. Jadi, uang untuk pemeliharaan selama ini dipakai untuk apa?" tanya Uchok. n muhammad akbar wijaya ed: abdullah sammy
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.