REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Konflik berbau sektarian di Irak kian memprihatinkan. Serangan hampir terjadi setiap hari, baik di wilayah Sunni maupun Syiah. Aljazirah mencatat, sedikitnya 140 orang tewas dalam serangan yang terjadi empat hari terakhir.
Kondisi ini mendorong Negeri Seribu Satu Malam itu ke jurang konflik sipil seperti pada 2006-2007. Di Ibu Kota Baghdad, Ahad (19/5), pemerintah menambah jumlah tim SWAT, tentara, petugas polisi di pos-pos pemeriksaan. Mereka mencari dan menggeledah kendaraan yang mencurigakan.
“Situasi di Baghdad masih bisa dikendalikan, tapi masih sangat tegang,” ujar koresponden Aljazirah Omar Al Saleh.
Serangan mematikan terakhir terjadi pada Sabtu (18/5) yang menewaskan sedikitnya 16 orang, termasuk kepala kepolisian antiterorisme, istri, dan kedua anaknya. Awalnya, gerombolan bersenjata menyatroni rumah di Kota Rashid, selatan Baghdad. Kementerian Dalam Negeri mengatakan, rumah tersebut dihuni oleh pejabat administrasi daerah Kota Rashid. Tidak disebutkan nama pejabat yang dimaksud. Tapi, aksi itu menewaskan seorang polisi pengawal.
Kelompok bersenjata selanjutnya menyatroni rumah di lokasi yang tidak jauh dari aksi pertama. Di rumah kedua, kelompok ini menargetkan serangan ke Kepala Polisi Antiteror Kapten Adnan Ibrahim. Serangan tersebut menewaskan sang kapten bersama istri dan kedua anaknya yang berusia delapan dan sepuluh tahun. Para pelaku menyerang ketika penghuni tengah tertidur.
Di Anbar, empat anggota gerilyawan Sahwa terbunuh dalam serangan yang dilancarkan kepada markas mereka. Gerilyawan Sahwa merupakan kelompok Sunni Arab yang selama ini bergabung dengan militer AS untuk memerangi kelompok Alqaidah di Irak.
Tidak hanya menyerang Anbar, kelompok bersenjata ini juga menculik 10 polisi di dekat Ramadi, Ibu Kota Anbar, jantung kota Sunni yang berbatasan dengan Suriah. Belum ada yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. Tapi, selama ini kelompok militan Sunni menargetkan pasukan keamanan untuk mendestabilisasi pemerintahan di Bagdad yang dikuasai Syiah.
Gerakan Sunni Militan juga tak suka dengan kelompok Sahwa yang menjadi bagian dari pendukung pemerintah. Mayoritas Syiah menguasai kekuasaan sepeninggalan rezim Saddam Husein.
Sabtu (18/5) dini hari, pasukan keamanan dan kelompok bersenjata juga sempat bentrok setelah polisi mencoba menangkap salah satu pemimpin militan Sunni Khamis Abru Risha. Dia merupakan tersangka pembunuhan anggota intelijen militer pada bulan lalu.
Tidak berhenti, serangan mematikan juga menewaskan seorang imam di Masjid Sunni di Kota Basra. Menyusul ledakan besar di Kota Mosul yang menewaskan dua anggota kepolisian, Sabtu (18/5).
Pemerintahan Syiah mencoba membangun koalisi bersama meski kemudian akhirnya gagal. Kelompok minoritas Sunni tidak suka dengan pemerintahan Syiah yang dinilai telah memberikan perlakuan buruk, termasuk penahanan dan penelantaran. Pada awalnya, demonstrasi yang mulai berlangsung pada Desember berjalan dengan damai. Tapi, kekerasan meningkat setelah bentrokan di Kamp Sunni di utara Irak, 23 April. Kelompok militan memanfaatkan insiden ini untuk meningkatkan serangannya ke pemerintah.
Aksi kekerasan yang terjadi pada Sabtu (18/5) adalah rangkaian insiden mematikan lain yang terjadi sehari sebelumnya. Setidaknya, 60 warga Sunni tewas setelah ledakan besar mengguncang di Kota Baquba, Jumat (17/5). Selain itu, kota-kota Sunni lainnya juga mengalami serangan serupa. Di Kota Madain, dua ledakan besar mengakibatkan 14 sipil tewas. Serangan di Baquba menyusul insiden mematikan sebelumnya yang menghantam wilayah-wilayah Syiah.
Delegasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Martin Kobler mengatakan, pemerintah di Baghdad bertanggung jawab meredam situasi. Menurutnya, intervensi kebijakan perlu untuk kembali membawa Irak dalam situasi yang damai. PBB khawatir, pertikaian baru di Irak terkait dengan eskalasi militer dan keamanan di negara tetangga, Suriah. “Semua kepentingan dan pejabat tinggi punya tanggung jawab melindungi warganya,” ujar Kobler. n bambang noroyono/ap/reuters ed: teguh firmansyah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.