REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Penggunaan obligasi sebagai sarana untuk pembiayaan infrastruktur dinilai dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah pendanaan akibat keterbatasan ruang fiskal. Selama ini, Indonesia terlalu bergantung pada anggaran pemerintah pusat untuk membiayai infrastruktur.
Kepala Divisi Riset Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero menyatakan, anggaran pemerintah pusat terbatas akibat tingginya beban belanja subsidi, terutama untuk bahan bakar minyak (BBM). Sehingga, dibutuhkan sumber dana lain untuk membiayai pembangunan infrastruktur. “Di negara lain, seperti Korea Selatan atau Malaysia, obligasi telah digunakan untuk membiayai infrastruktur,” ujarnya akhir pekan lalu.
Keberhasilan Korea Selatan maupun Malaysia menggunakan obligasi untuk pembiayaan infrastruktur, ujar Poltak, tak lepas dari tingginya pertumbuhan volume obligasi dalam 10 tahun terakhir. Volume obligasi Korea Selatan tumbuh dari 163 miliar dolar AS pada 2002 menjadi 572 miliar dolar per 2012. Sedangkan, volume obligasi Malaysia tumbuh 341 persen dari 44 miliar dolar AS pada 2002 menjadi 195 miliar dolar AS pada 2012.
Indonesia, menurut Poltak, dapat mengoptimalkan obligasi pemerintah sebab volumenya tumbuh 72 persen dari 53 miliar dolar AS per 2002 menjadi 92 miliar dolar AS pada 2012. “Ini menunjukkan pembiayaan lewat instrumen obligasi pemerintah memiliki ruang tumbuh yang besar,” kata Poltak. Apalagi, obligasi pemerintah berperan sangat besar dalam peningkatan kemampuan negara dalam membiayai pembangunan.
Semakin besar obligasi pemerintah, secara otomatis dapat mendorong iklim keuangan menjadi kondusif. Ini karena obligasi yang diterbitkan pemerintah menjadi acuan bagi penerbitan obligasi oleh korporasi. Hal yang sama diungkapkan ekonom Universitas Atmajaya Agustinus Prasetyantoko. Ketiadaan obligasi infrastruktur selama ini disebabkan belum adanya keberanian untuk memulainya.
Padahal, penggunaan obligasi untuk pembiayaan infrastruktur telah menjadi sesuatu yang lumrah di negara lain. Penyebabnya adalah kepastian proyek serta jadwalnya yang relatif lebih baik. Menurutnya, sebelum menerbitkan obligasi infrastruktur, pemerintah harus menyiapkan studi kelayakan dan kajian terkait pengembalian investasi dengan sangat cermat serta matang.
Selain itu, memberikan jaminan pelaksanaan proyek infrastruktur sehingga pengerjaannya tidak molor dari waktu yang telah ditentukan. Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Luky Eko Wuryanto menambahkan, pemerintah memang belum intensif menggarap obligasi untuk pembiayaan infrastruktur. Akibatnya, bank dan lembaga finansial tidak mempunyai orientasi untuk mengembangkannya.
“Kalau pemerintah betul-betul berkomitmen membangun infrastruktur dengan memanfaatkan potensi uang yang ada di bank dalam negeri, segera beri sinyal positif ke pasar,” kata Luky. Pasar memerlukan infromasi terkait proyek-proyek infrastruktur yang menarik dan potensial untuk dibangun dengan pola pembiayaan obligasi. Dengan itu, bank dan lembaga keuangan memiliki orientasi yang jelas. n muhammad iqbal ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.