REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tarik ulur rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dikhawatirkan akan memicu peningkatan penimbunan dan penyelundupan BBM. Meski sangat sensitif, pemerintah diminta segera memutuskan kenaikan BBM. "Kalau terus ditunda, kemungkinan orang melakukan penimbunan dan penyelundupan BBM semakin tinggi," kata Kepala Lembaga Demografi UI Sonny Harry B Harmadi dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (1/6).
Karena menjadi kewenangan pemerintah, menurut Sonny, presiden bisa saja langsung mengambil keputusan menaikkan harga BBM. Dan, meminta DPR untuk secepatnya menyelesaikan pembahasan APBN Perubahan 2013.
Jika terus berlarut-larut tanpa kejelasan, dampak psikologis terhadap masyarakat dan dampak bagi pasar akan merugikan masyarakat sendiri. Menjelang momen bulan Ramadhan, menurut Sonny, isu kenaikan BBM menimbulkan inflasi.
Masyarakat semakin resah karena sebelum bulan puasa harga barang di pasar sudah naik. Apalagi, membayangkan jika BBM dinaikkan bertepatan dengan bulan puasa nanti. Kalau mundur lagi, berbarengan dengan puasa dan lebaran, akan bahaya sekali. Dampaknya akan berlipat ganda.
Bantuan langsung juga tidak akan ada efeknya, ungkapnya.Sonny menyebut nilai subsidi BBM terus membengkak. Peningkatannya sangat signifikan. Pada tahun 2003 sampai 2010, pertumbuhan konsumsi masyarakat di atas 6 persen. Tetapi, pada 2011 sampai 2012, angka tersebut naik drastis menjadi 16 persen.
Banyak berwacana
Di tempat terpisah, pengamat ekonomi dari Institute for Development and Finance (INDEF), Didik J Rachbini, mengatakan pemerintah terlalu asyik bermain dalam tataran wacana, namun tidak kunjung tegas menaikkan harga BBM. Alhasil, sikap seperti ini menciptakan ketidakpercayaan pasar (investor) menanamkan modal.
Di saat yang sama, para spekulan turut bermain dengan mengurangi distribusi bahan-bahan pokok ke masyarakat. Kepercayaan ekonomi berkurang, ujarnya di sela-sela acara peluncuran buku Ginandjar Kartasasmita, Managing Indonesias Transformation: An Oral History, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Sabtu (1/6).
Didik menyatakan, faktor besar penting yang membuat APBN defisit adalah BBM impor yang dibeli pemerintah. Hal itu memaksa pemerintah mengeluarkan cadangan devisa, berupa dolar, dalam jumlah besar. Dalam konteks ini Didik berpendapat kenaikan BBM merupakan keharusan yang tidak terelakkan. Menaikkan BBM menjadi salah satu solusi menguatkan rupiah, katanya.
Mantan wakil presiden Jusuf Kalla pun sepakat. Menurutnya, pemerintah terlalu boros menggunakan APBN untuk membeli BBM impor. Menurut JK, demikian dia biasa disapa, pemerintah harus berani mengurangi kuota BBM impor. Semakin kita boros, semakin rupiah melemah, kata JK.
Sementara itu, mantan menteri koordinator perekonomian era Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita, mengatakan pemerintah tidak perlu ragu menaikkan harga BBM. Keraguan pemerintah menurut Ginandjar, hanya melemahkan kepercayaan pasar pada pemerintah. "Kalau mau menaikkan BBM, cepat naikkan. Jangan ragu," ujar Ginandjar.
Fluktuasi harga BBM memang berperan besar terhadap perekonomian negara. Namun begitu, yang paling penting menurut Ginandjar adalah meyakinkan investor soal kepastian harga BBM. Kepercayaan publik soal BBM yang membuat investor datang, katanya. n ira sasmita/muhammad akbar wijaya ed: nina chairani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.