REPUBLIKA.CO.ID, Chalifa merasa gundah. Bangsa kita kurang menghargai yang kita miliki, katanya. Ia mengamati berbagai kompetisi bakat menyanyi yang populer saat ini. Tak ada satu pun para kontestan menyanyikan lagu bergenre melayu. Bahkan, banyak di antaranya yang lebih suka menyanyi lagu berbahasa Inggris.
"Kalau kita lihat ada Arab Idol, lagu-lagunya itu Arab. Tapi, kenapa waktu ada Indonesian Idol tapi lagu-lagunya nggak ada musik Melayu," ujar produser Jakarta Melayu Festival itu.Lirik puitis, musik yang mendayu-dayu namun khas dan sarat makna adalah gambaran musik melayu.
Musik melayu memiliki sejarah panjang dalam tradisi berkesenian di nusantara. Namun, tempatnya kini berada dalam onggokan sejarah yang tak dilirik oleh industri rekaman maupun media visual.
Banyak kalangan, khususnya generasi muda, tak lagi kenal dengan genre musik ini. Mereka justru lebih mengenal musik Barat, Jepang, ataupun Korea.
Menghidupkan lagi
Upaya menghidupkan kembali musik melayu sebenarnya sudah mulai dilakukan di awal 2013. Yakni, saat Gita Cinta Productions (GCP) telah menggelar konser musik Melayu pada 16 Januari 2013 silam di club & lounge Crown Hotel.
Perhelatan musik Melayu yang bertajuk konser Bulan Di Pagar Bintang tersebut cukup membius para penikmat musik Melayu. Penjualan tiket pada pertunjukan malam itu ludes. Penonton yang hadir pun berasal dari segala jenis profesi. Mulai dari pengusaha, pengamat politik, politikus, publik figur sampai para pelaku media massa.
Tak ayal mereka pun terlihat menikmati suguhan musik Melayu yang dinyanyikan musisi-musisi Melayu ternama. Mereka di antaranya, LCatraz Band, Sulis (Cinta Rasul), Muchsin Alatas, Hamdan ATT, Mustafa Abdullah (Balasyik), Nizar Ali, Ema Lopez, Fahad Munif, Fuad Balfas, Hendri Lamiri.
Suasana Melayu mewarnai Crown Hotel saat itu. Lampu warna-warni khas Melayu dan pakaian khas Melayu yang dipakai penonton seperti, sari, selendang, dan batik.
Setelah sukses di konser Bulan Di Pagar Bintang, GCP cukup optimistis dengan pergelaran Jakarta Melayu Festival mendatang. Acara tersebut diselenggarakan pada 30 Agustus 2013 di Hotel Bidakara, Jakarta.
Mati suriDalam perkembangannya, musik Melayu mengalami pasang surut. Musik tradisional yang berasal dari wilayah pantai timur Sumatra dan Semenanjung Malaysia ini pernah mencapai zaman keemasannya pada tahun 1980 hingga 1990-an. Namun, musik yang didominasi permainan rebana, petikan gambus, pukulan gong, dan alunan serunai ini mulai mengalami penurunan di awal tahun 2000-an, saat musik rock dan pop berkembang. Masyarakat pun mulai meninggalkan genre musik ini. Mereka lebih senang menikmati musik-musik bergenre pop.
Bahkan, di antaranya banyak yang lebih menyenangi musik pop dari negara lain seperti, west music, K-pop, maupun J-pop.Alunan genre musik Melayu yang tadinya dapat dijumpai di Riau, Palembang, Deli, Aceh, Singapura, hingga Malaysia ini pun tak lagi terdengar. Para pelaku dunia musik Melayu melihat genre musik ini tengah mati suri. Mereka menandai beberapa tahun terakhir timbul kebingungan antara musik Melayu dan musik dangdut.
Masyarakat banyak beranggapan musik dangdut adalah musik Melayu, begitupun sebaliknya. Sedangkan, dewasa ini banyak musik dangdut yang menyimpang. Liriknya dangkal dan terkesan porno. Hal itulah, menurut pengamat budaya Hamid Basyaib, yang menjadikan kurang berkembangnya musik Melayu, terutama di kalangan generasi muda saat ini.
Sampai sekarang masih saja ada yang mendefinisikan dangdut sebagai musik atau orkes Melayu, tambah Hamid.Karena itu, Hamid berpendapat, untuk menghidupkan kembali musik Melayu, para musisi di belakangnya harus membuat musik Melayu yang bagus. Sebab, musik yang bagus sudah pasti dapat diterima dan dinikmati masyarakat luas.
Selain itu, Hamid melihat perlunya regenerasi musisi Melayu, baik penyanyi maupun komposernya. Musisi maupun komposer muda tersebut dapat mengerti selera musik masa kini, tanpa menghilangkan esensi musik Melayu. n aghia khumaesi geisz ed: nina chairani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.