REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rusuh tenaga kerja Indonesia (TKI) di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah, Arab Saudi, menunjukkan koordinasi antarlembaga di negara tujuan penempatan TKI harus segera diperbaiki.
Sosiolog Industri dan Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI) Nadia Yovani mengatakan, perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pernah menyatakan koordinasi antarlembaga di negara tujuan penempatan TKI sangat tidak teratur. “Siapa mengerjakan tahap yang mana tidak jelas,\" kata Nadia di Jakarta, Rabu (12/6).
Dokumen kelengkapan TKI, khususnya yang bekerja pada sektor informal, sering kali tidak lengkap. Hal ini karena pengurusan dokumen di Indonesia dipenuhi dengan agen dan calo yang mengambil jalan pintas. Mereka tidak mengikuti prosedur yang benar.
Ketika TKI tiba di tempat tujuan, seperti Jeddah, kata Nadia, data mereka tidak terdaftar akibat dokumen tak lengkap. Jumlah TKI seperti ini tidak sedikit, sedangkan jumlah tenaga Sekretariat Atase Nakertrans di tempat tujuan, seperti Jeddah, sangat terbatas. “Jumlah pelayan publiknya tidak sebanding dengan publik yang dilayani,\" kata Nadia.
Akibatnya, banyak relawan yang bekerja untuk membantu. Karena kurangnya sosialisasi akan aturan dan prosedur yang dibantu, para relawan itu bekerja berdasarkan pemahaman sendiri. Jumlah relawan ini juga tidak cukup untuk mengatasi kasus yang ada.
Para TKI biasanya juga memiliki karakter ingin cepat selesai, sehingga memunculkan praktik suap. Sejumlah oknum relawan memanfaatkan kondisi ini dengan meminta uang. “Ini bagian dari budaya masyarakat Indonesia yang tidak sabar mengikuti prosedur,\" ujar Nadia.
Rusuh di KJRI Jeddah berawal dari kebijakan amnesti atau pemutihan bagi warga negara asing di Arab Saudi yang tak memiliki izin tinggal hingga 3 Juli 2013. KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah memberikan layanan pemutihan itu. Pada Ahad (9/6), TKI saling berdesakan untuk mendapatkan pelayanan karena ada kabar pemutihan hanya berlaku hingga Ahad (9/6). Satu TKI meninggal karena dehidrasi.
Aksi rusuh TKI di KJRI Jeddah itu berujung pada tindakan tegas polisi setempat. Kepolisian Saudi menangkap puluhan TKI seusai aksi rusuh itu dengan tuduhan menjadi provokator. Hingga kini, belum diketahui bagaimana kondisi dan di mana TKI itu ditahan.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Arab Saudi Gatot Abdullah Mansyur belum dapat memastikan jumlah dan identitas TKI yang ditahan. “Ada yang menyebut sekitar 30 orang. Kami akan coba mengecek langsung ke imigrasi Arab Saudi, tempat para TKI ditahan,” kata Gatot.
Menurut Gatot, kepolisian Arab Saudi mengambil langkah berdasarkan hukum di wilayah mereka. Dia belum dapat memastikan hukuman yang dikenakan kepada TKI yang terlibat kerusuhan. Selama ini, TKI yang tertangkap karena izin tinggal melebihi batas waktu dan kemudian dideportasi. \"Kami berharap hukuman (terkait kerusuhan) juga hanya dideportasi,” kata Gatot.
KBRI akan mengirimkan bantuan hukum guna mendampingi para TKI ketika memasuki tahap pemeriksaan. Bantuan hukum ini untuk memastikan para TKI mendapatkan hak di depan hukum Kerajaan Arab Saudi.
Terkait proses surat perjalanan laksana paspor (SPLP), KJRI Jeddah telah mengeluarkan 53 ribu surat hingga Ahad lalu. Dia memperkirakan, jika dihitung rata-rata per hari KJRI menerbitkan 5.000 SPLP, saat ini sudah 68 ribu yang dikeluarkan.
Berdasarkan laporan petugas di lapangan, hampir 20 persen TKI ingin kembali ke Indonesia. “Data resmi belum ada, tapi 20 persen sampai sepertiga TKI ingin pulang, sisanya ingin kembali bekerja,” kata Gatot.
Dia membantah adanya laporan TKI mendapatkan SPLP tanpa ada nomor paspor. SPLP takkan bisa dikeluarkan jika tanpa ada data atau nomor paspor. Kalaupun ada, Gatot menegaskan surat itu palsu.
Ia berharap, TKI yang mendapatkan SPLP bodong itu melapor ke staf atau petugas. Meski TKI tak memiliki paspor, petugas tetap menerima jika mereka memiliki fotokopi paspor atau KTP serta kartu keluarga. “Intinya nama pelapor tak ada perubahan dengan nama pertama kali masuk ke Arab Saudi,” kata Gatot. Karena sebenarnya KJRI dan KBRI selektif dalam memilih relawan.
Rata-rata relawan adalah tokoh masyarakat, anggota organisasi masyarakat yang sudah dikenal, para guru dan lulusan SMA di Arab Saudi. Namun, ia tak memungkiri kemungkinan ada calo yang mengaku sebagai relawan. Meski relawan diberi identitas berupa topi hijau dan merah, bukan tak mungkin calo memakai atribut serupa.
Lembaga Persahabatan Ormas Islam Indonesia (LPOI) mengecam rusuh di KJRI Jeddah. Ketua LPOI Said Aqil Siroj mendesak penghentian pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi. n fenny melisa/ichsan emrald alamsyah/rosita budi suryaningsih ed: ratna puspita
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.