REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PKS dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak juga membuat keputusan mengenai 'perkawinan politik' mereka dalam Sekretariat Gabungan Partai (Setgab) Koalisi Pemerintah. Meski menyebut sikap PKS tidak elok, SBY tetap mempertahankannya dalam koalisi.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan, sampai saat ini PKS masih anggota Setgab. Ia pun membantah adanya kabar yang menyebut istana mendepak PKS dari koalisi. Pembicaraan itu, kata Sudi, tidak pernah mencuat.
Karena itu, Sudi menuding PKS yang sebenarnya berharap Presiden mengeluarkannya dari Setgab. Namun, SBY tidak memberikan surat pemberhentian PKS dan dia yakini SBY tidak akan mengeluarkan surat tersebut. "Ya, mungkin itu (surat dari presiden) yang diharapkan mereka," kata Sudi, Kamis (13/6).
Sudi menyampaikan bahwa Presiden sangat kecewa atas sikap PKS yang menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Kata Presiden, seperti dikutip Sudi, itu tindakan tidak etis, tidak elok, apalagi dilakukan partai politik dalam koalisi.
Apalagi, sikap itu muncul setelah SBY bertemu Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin, bulan lalu. Pada pertemuan itu, Menteri Sosial yang juga berasal dari PKS Salim Segaf Al Jufri turut hadir.
Menurut Sudi, selama ini PKS selalu menyerahkan sikap partai lewat Majelis Syuro. Kala itu, PKS menyatakan dukungan terhadap kebijakan pemerintah. “Tapi, tiba-tiba seperti ini, saya juga nggak tahu," kata Sudi. Pemerintah pun menyerahkan kepada masyarakat mengenai tindakan PKS ini.
Politisi PKS Fahri Hamzah menyatakan, sebetulnya PKS sudah dikeluarkan dari Setgab. Seorang menteri Kabinet Indonesia Bersatu, jelas dia, menemui satu menteri PKS menginformasikan bahwa PKS sudah tidak lagi di Setgab.
Sudi membantah pengakuan Fahri ini. Sudi mengaku memang bertemu Mensos Salim Segaf, tetapi tidak satu pun keluar ucapan 'mengeluarkan PKS dari Setgab' kepada rekan kerjanya itu.
Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid menyatakan pihaknya memang mendapatkan informasi Setgab mengeluarkan PKS dari koalisi. Surat pemberhentian PKS semestinya diterima Sabtu, 8 Juni. Sinyal itu menguat ketika PKS tidak diundang pada rapat Setgab, Selasa (11/6) malam.
Perbedaan sikap antarpartai dalam koalisi, kata Hidayat, seharusnya ditanggapi wajar, bukan saling tuding seperti yang terjadi sekarang. “Kami tidak mencari musuh, perbedaan jangan dijadikan sarana permusuhan,” ujar dia.
PKS pun konsisten menolak kenaikan harga BBM bersubsidi. Ini sesuai keputusan rapat Dewan Pengurus Tingkat Pusat (DPTP) PKS di rumah Hilmi di Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/6) malam.
Hidayat menambahkan, Presiden juga yang berhak memutuskan nasib ketiga menteri yang berasal dari PKS. Selain Mensos, dua menteri lainnya adalah Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring dan Menteri Pertanian Suswono. “Beliau yang berhak menggunakan hak prerogatifnya,” kata dia.
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Iberamsjah menilai, sikap PKS yang tidak menarik tiga menterinya dari kabinet SBY sudah benar. "Dulu SBY yang mengangkat ketiga menteri dari PKS, maka SBY pula yang berhak memberhentikan mereka," kata dia.
Jika PKS menarik ketiga menterinya dari kabinet, ujar Iberamsjah, maka PKS justru seolah-olah marah karena usulan mereka agar harga BBM tidak dinaikkan ditolak pemerintah. "Justru menunggu SBY menggunakan hak prerogatifnya merupakan sikap yang sangat tepat saat ini," ujar dia.
Menurut Iberamsjah, PKS juga tak perlu mengundurkan diri dari koalisi. Sebab, dulu SBY yang meminta mereka masuk ke dalam koalisi, maka SBY pula yang berhak mengeluarkan mereka dari koalisi. n esthi maharani/dyah ratna meta novia/muhammad akbar wijaya ed: ratna puspita
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.