REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilu atau Pilihan Raya Umum (PRU) Malaysia telah berlalu. Pemenang pemilu pun telah ditetapkan. Tapi, koalisi oposisi Pakatan Rakyat (PR) masih belum menerima hasil pemilu tersebut. Upaya hukum pun akan mereka tempuh untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu.
Hal tersebut dikatakan pimpinan koalisi oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, kepada para wartawan di Jakarta, Ahad (16/6). Menurut Anwar, pihaknya berencana melaporkan terjadinya kecurangan dalam pemilu Mei lalu kepada Mahkamah Federal Malaysia. Sejumlah bukti pun telah disiapkan.
Berdasarkan hasil yang diperoleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Malaysia, menurut Anwar, PR meraup 51 persen suara, sedangkan Barisan Nasional (BN) 47 persen suara. “Anehnya, KPU malah memenangkan kubu BN meski PR meraih suara mayoritas popular count,” ujar Anwar yang berasal dari Partai Keadilan Rakyat (PKR). Bahkan, Anwar melanjutkan, KPU malah memutuskan bahwa kubu BN berhasil meraih 133 kursi di parlemen, sementara PR hanya merebut 89 kursi.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, kata Anwar, kecurangan utama terletak pada tinta yang mudah luntur dan adanya pemilih “hantu”. Tinta yang mudah luntur memungkinkan seorang pemilih memberikan suaranya lebih dari satu kali.
Sedangkan, fenomena pemilih “hantu”, kata Anwar, banyak terjadi di Negara Bagian Sabah. Mereka umumnya adalah pekerja migran dari Bangladesh, Filipina, Myanmar, dan Indonesia. “Jika biasanya mayoritas pemilih 'hantu' adalah orang Indonesia, kini tidak lagi.”
Penyebabnya, kata Anwar, BN tak lagi mempercayai pemilih “hantu” asal Indonesia. Berdasarkan riset, BN mengetahui bahwa pekerja Indonesia yang mendapat kartu pemilih belum tentu memilih partai mereka, meski sudah diberi uang sebesar 500 ringgit Malaysia.
“Kami juga sudah memberikan laporan kecurangan (mengenai pemilih 'hantu') kepada kedubes masing-masing karena hal ini juga berarti memperalat warga negara mereka.”
Selain bukti-bukti kecurangan yang mudah terlihat seperti tinta yang mudah luntur dan pemilih “hantu” tersebut, menurut Anwar, pihaknya juga dicurangi dalam beragam bentuk lain, seperti tak bisa mengakses media resmi Malaysia untuk berkampanye, pemberangusan media milik PR, hingga mati lampu secara tiba-tiba saat pelaksanaan pemilu.
Harus diselesaikan
Sebelumnya, beredar kabar bahwa Pemerintah Malaysia berupaya mempertemukan Anwar dan pemimpin BN, yakni Perdana Menteri Najib Razak. Seorang sumber menyatakan, pertemuan akan dilakukan sebelum Anwar bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, Sabtu (15/6).
Saat dikonfirmasi hal ini, Anwar menegaskan, tak ada pertemuan dengan pihak Najib di Jakarta. Bagi dia, rekonsiliasi tak akan bisa dilaksanakan sebelum berbagai kecurangan dalam pemilu diinvestigasi dan diselesaikan.
“Banyak yang mengatakan agar saya move on. Namun, saya ingin diselesaikan dulu kecurangan pemilu, baru ada rekonsiliasi,” ujar dia.
Saat ini, kata Anwar, ia juga sedang berusaha memadamkan gejolak amarah kaum muda Malaysia yang menuntut terjadinya perubahan. Apalagi, PR akan menyelenggarakan Risalah Perhimpunan Rakyat (RPR) pada 22 Juni di Kuala Lumpur.
Ia mengatakan, sebanyak 15 orang anggota PR yang sedang mengedarkan pamflet RPR ditangkap aparat kepolisian. Anwar sangat menyesalkan penangkapan itu. Sebab, RPR hanya merupakan acara pertemuan rakyat.
Sejauh ini, sudah 30 orang ditangkap karena menyebarkan pamflet RPR. Penangkapan ini, menurut dia, membuktikan pemerintah yang dipimpin BN tak mampu menciptakan iklim kebebasan dan demokrasi. “Tidak akan ada revolusi, anak-anak (kaum muda PR) hanya menginginkan agar pemerintah menyelesaikan kecurangan pemilu.” n ed: wachidah handasah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.