REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Endro Yuwanto , Twitter: @endroeye
Mungkin sebagian dari kita agak asing dengan nama negara ini, Tahiti. Negara kepulauan ini memang berada terpencil di sisi selatan Samudra Pasifik dengan jumlah penduduk tak sampai 500 ribu jiwa.
Tapi pada 2013, kita --terutama penggemar sepak bola-- tentu akan lebih mengenal Tahiti. Ini lantaran negara yang beribu kota di Papeete, terletak di pantai timur laut, adalah salah satu kontestan turnamen antarjuara benua, Piala Konfederasi 2013 di Brasil.
Sepanjang sejarah penyelenggaraan turnamen besar sepak bola yang diadakan FIFA, baik Piala Dunia ataupun Piala Konfederasi, hanya dua negara yang pernah mewakili Asosiasi Sepak Bola Oceania (OCF) di dua turnamen besar itu, yakni Australia dan Selandia Baru. Tapi, Australia telah memutuskan bergabung dengan Asosiasi Sepak Bola Asia (AFC).
Tahiti memang menghadirkan kejutan besar. Negara peringkat 138 FIFA ini pernah mengalami kekalahan terbesar 0-10 saat meladeni Selandia Baru pada 4 Juni 2004. Tapi, kini Tahiti justru menggagalkan Selandia Baru untuk tampil di perhelatan Piala Konfederasi.
Uniknya, tim yang diarsiteki Eddy Etaeta ini hanya berkekuatan 99 persen pemain yang tergolong amatir dan hanya satu persen yang dapat disebut sebagai pemain profesional. Dari seluruh pemain yang dibawa Etaeta, hanya satu pemain yang bermain di liga profesional, yaitu Marama Vahirua yang pernah membela beberapa klub di Prancis dan kini bermain di Liga Yunani bersama klub Panthrakikos.
Tapi, jangan tanya Tahiti soal prestasi di level internasional seperti saat ini. Bandingkan dengan timnas Indonesia yang seperti sudah merasa bangga seusai digunduli Belanda 3-0 dalam laga uji coba, Jumat 7 Juni lalu. Padahal Indonesia tampil di kandang sendiri --tidak seperti Tahiti yang bermain di tempat netral. Jangan bicara tentang kekuatan Indonesia yang kini berpenduduk sekitar 250 juta jiwa. Timnas Indonesia dipenuhi pemain profesional dan naturalisasi. Tak ada satu pun pemain Indonesia yang merasa amatir di skuat Merah Putih.
Lantas apa pembedanya? Peringkat Indonesia yang masih berkutat di posisi 170 dunia? Ah itu tentu alasan sekadar ngeles jika membandingkannya dengan Tahiti.
Alasan yang mungkin paling tepat adalah persoalan mental. Mental dari seluruh komponen, mulai dari pemain hingga pengurus sepak bola di Indonesia. Bayangkan sejak PSSI era Agum Gumelar sejak sekitar akhir 1990-an, Indonesia selalu memasang target berbicara dulu di level Asia Tenggara.
Praktis, setiap tahun Indonesia selalu membidik target minimal lolos di semifinal turnamen level Asia Tenggara, seperti Piala AFF dan cabang sepak bola SEA Games. Hasilnya, sejak era Agum hingga saat ini, tak pernah sekalipun tim Merah Putih merasakan trofi juara di dua turnamen tersebut. Ironis.
Jika acuannya Asia Tenggara, sepak bola Indonesia akan selalu jalan di tempat. Mestinya sudah bukan lagi level Asia Tenggara yang menjadi bidikan. Indonesia memang harus tetap menjadi yang terbaik di kawasan itu, tapi target utama timnas Indonesia sudah seharusnya bergeser ke level Asia kalau perlu level dunia.
Ingat, gegap gempita perhelatan Piala AFF 2010 dan SEA Games 2011 seakan tak berarti lagi ketika Piala Asia 2011 digelar. Ini karena tak ada wakil Asia Tenggara di ajang sepak bola bergengsi se-Asia itu. Ironisnya, empat negara dari kawasan tersebut, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Asia 2007. Wajar bila jauh-jauh hari Australia--mungkin karena alasan kualitas turnamen--menolak undangan untuk tampil di Piala AFF 2014 dan tetap memilih berlaga di Piala Asia Timur.
Tentu, banyak hal yang harus dibenahi jika Indonesia ingin meningkatkan prestasi dan mengajukan diri di level dunia. Pertama, Indonesia membutuhkan fasilitas dan kepelatihan yang memadai. Bisa dikatakan, dalam sisi ini, kita jauh tertinggal dibanding Jepang, Cina, Korsel, dan negara-negara di kawasan Teluk. Akan tetapi, cukup sulit untuk memperkecil celah ini karena negara-negara top Asia sudah mengembangkan skema pembangunan sepak bola bertahun-tahun silam.
Selain itu, minimnya kesempatan bertanding melawan tim-tim tangguh menjadi salah satu faktor ketertinggalan. Indonesia dan tentu saja tim-tim Asia Tenggara lainnya terkesan lebih terbiasa menghadapi sesama tim dari kawasannya.
Mantan pelatih timnas Indonesia, Alfred Riedl, suatu ketika menyatakan, banyak federasi tak memperhatikan sektor pembinaan usia dini karena hasilnya baru dapat diketahui 10 tahun kemudian. Ia juga menyoroti banyak pengambil kebijakan di federasi maupun pemerintah tidak menjabat selamanya dan hanya memikirkan diri sendiri.
Jadi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan Indonesia. Namun, berkaca dari keberhasilan negera 'kecil' seperti Tahiti, berbicara di level dunia bukanlah sesuatu yang mustahil bagi Indonesia kelak. n
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.