REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG - Bank Indonesia (BI) mewajibkan bank besar menyalurkan kredit produktif lebih banyak. Hal tersebut sebagai antisipasi menghadapi masuknya perbankan asing melalui integrasi sektor keuangan saat implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2020.
Direktur Eksekutif Departemen Hubungan Masyarakat BI Difi A Johansyah mengatakan, hanya bank-bank yang memenuhi persyaratan khusus yang dapat melakukan ekspansi di negara kawasan, termasuk di Indonesia. Karena itu, hanya bank-bank besar yang kemungkinan bisa melakukan ekspansi ke negara lain, termasuk ke Indonesia.
Menurut ketentuan BI, bank dibedakan berdasarkan modal inti atau kategori buku 1 hingga 4. Bank kategori buku 1, yaitu bank dengan modal inti di bawah Rp 1 triliun, bank buku 2, yakni bank yang memiliki modal inti minimum Rp 1 triliun hingga di bawah Rp 5 triliun, bank buku 3 memiliki modal inti minimum Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun, dan bank kategori buku 4 memiliki modal inti minimum Rp 30 triliun.
Bank kategori buku 1 wajib menyalurkan sedikitnya 55 persen total kreditnya kepada sektor produktif. Sedangkan, bank buku 2 harus mengalokasikan minimum 60 persen kreditnya ke sektor produktif. Sementara, buku 3 diharuskan sebanyak 65 persen dan buku 4 hingga 70 persen.
BI juga menginginkan adanya peran aktif kantor cabang bank asing (KCBA) dalam menyalurkan kredit. Selama ini, KCBA cenderung mengejar pendapatan nonbunga (fee based income) daripada menyalurkan kredit.
Bank asing melakukan aktivitas keagenan dan kerja sama, seperti usaha kustodian serta wali amanat, untuk mengejar pendapatan tersebut. Karena itu, BI mewajibkan bank asing untuk mengalokasikan modalnya hingga 80 persen dari dana pihak ketiga (DPK) atau minimal Rp 1 triliun untuk kredit.
Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) Aviliani mengatakan, Bank Indonesia sebaiknya tidak memaksa perbankan menyalurkan kredit produktif dengan persentase tertentu karena akan berpengaruh pada kualitas pinjaman. “Kredit ke sektor produktif itu jangan dipatok dalam angka persentase tertentu. Karena, kalau dipatok dengan angka, penyalurannya akan menjadi tidak berkualitas,” katanya.
Aviliani mengatakan, sebaiknya BI menerapkan sistem insentif dan disinsentif. Bank yang berhasil mencapai target yang ditentukan akan diberikan insentif tertentu, misalnya, meringankan kewajiban setoran giro wajib minimum (GWM).
Sementara itu, menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, pertumbuhan kredit diperkirakan akan melambat. Kepala Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII) Juniman mengatakan, kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan inflasi sehingga pertumbuhan ekonomi akan melambat dan permintaan kredit berkurang.
Berdasarkan data BI, kenaikan harga BBM bersubsidi menyumbang 2,2 persen terhadap inflasi. Karena itu, inflasi tahun ini akan mencapai 7,65 persen. Sementara, inflasi inti diperkirakan berada di level 4,6-4,7 persen.
Sebelum harga BBM naik, pertumbuhan kredit per April 2013 sudah melambat sejalan dengan kegiatan ekonomi yang kurang baik. Pertumbuhan kredit secara keseluruhan turun dari 22,2 persen pada Maret menjadi 21,9 persen pada April.
Direktur Bisnis UMKM BRI Djarot Kusumayakti memprediksi, sektor yang akan terkena dampak langsung kenaikan harga BBM adalah kredit korporasi. Sedangkan, segmen mikro memiliki dampak paling kecil dibanding sektor lain. Dengan adanya efek domino, mikro akan berada di posisi terakhir dari sektor yang terkena imbas. Ini karena segmen mikro tidak mengonsumsi BBM secara besar-besaran.
Kenaikan harga BBM memang dapat berpengaruh pada sektor perikanan karena nelayan membutuhkan bahan bakar untuk berlayar. Namun, porsi sektor ini sangat kecil terhadap total kredit. Berdasarkan perkiraan Djarot, rasio kredit macet (NPL) BRI akan bertahan di sekitar dua persen. n satya festiani ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.