REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengaturan Minuman Keras (RUU Miras) yang terus tertunda di Badan Legislatif (Baleg) DPR memunculkan tanda tanya adanya intervensi pihak yang berkepentingan atas pengaturan miras tersebut. Pengusaha miras dan tempat hiburan pun diminta tidak ikut memengaruhi proses pembahasan RUU ini.
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Enceng Shobirin Nadj menduga ada kekuatan di pemerintah dan legislatif yang tetap menginginkan miras dan minuman beralkohol (minol) tersebar.
Menurut Enceng, hal ini berdasarkan fakta terus tertundanya pembahasan RUU Pengaturan Miras di Baleg sejak diusulkan pertengahan tahun lalu. “NU melihat ada keinginan dari pihak yang berkepentingan atau pengusaha agar miras ini tetap terjual bebas. Dan, DPR terus menunda pembahasan RUU ini,” ujarnya, Selasa (25/6).
Karenanya, kata dia, NU berharap Baleg memiliki sikap agar tarik-menarik kepentingan dalam RUU Pengaturan Miras segera dihentikan dan RUU Miras segera dibahas. Enceng mengkhawatirkan, dengan semakin berlarut-larutnya pembahasan RUU ini akan berdampak buruk. Bukan hanya efek dari miras dan minol itu, melainkan adanya aksi-aksi anarkistis dari beberapa kelompok yang menertibkan miras yang dijual bebas. Terlebih, saat ini menjelang masuknya bulan Ramadhan.
Enceng menambahkan, tugas NU sebagai ormas Islam memiliki tangggung jawab nahi mungkar, akan tetapi pihaknya tidak bisa mengatur ormas lain yang melakukan nahi mungkar dengan aksi anarkistis karena lemahnya aturan peredaran dan penjualan miras. “Ini yang kita takutkan,” ujarnya.
Ketua Gerakan Anti Miras Fahira Idris menilai, terus tertundanya pembahasan RUU Pengaturan Miras disebabkan keengganan fraksi-fraksi di Baleg untuk membahas hal ini. Ia mengaku tak mengerti mengapa sebagian besar fraksi di Senayan itu tidak mau mendukung RUU pengaturan miras.
“Saat ini, baru PPP, PKS, dan sebagian anggota PAN yang menyatakan dukungannya. Sedangkan, fraksi lain belum mendukung,” kata Fahira. Ia juga menduga ada pihak yang berkepentingan agar miras itu tidak segera masuk pembahasan sebagai RUU di Baleg.
Seperti diketahui, kata Fahira, peredaran miras saat ini marak di sejumlah retail waralaba asing yang menjadi tempat tongkrongan anak muda. Sangat disesalkan jika tempat nongkrong anak muda, seperti Seven Eleven (Sevel), Lawson, dan Circle K, menjajakan miras yang konsumennya kebanyakan anak muda.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait impor miras cukup mengkhawatirkan. Pada 2007 realisasi impor miras mencapai 28.690 karton. Jumlah ini meningkat tajam menjadi 143.668 karton pada 2008. Dan, pada 2009 angka impor miras terus meroket hingga 279.052 karton. Dalam dua tahun terakhir, angka penjualan miras terus naik hingga dua kali lipat.
Karenanya, Fahira mendesak pemerintah atau Menteri Kesehatan (Menkes) untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang pembatasan peredaran miras maupun minol. PP ini, menurutnya, penting sebagai langkah pencegahan sementara pengaturan miras yang saat ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Inisiatif tersebut mendapat dukungan dari Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin. Lukman memandang penerbitan PP tersebut merupakan langkah darurat yang perlu dipertimbangkan sambil menunggu pembahasan draf RUU Anti Miras di DPR. Ia juga mengharapkan kelompok-kelompok masyarakat agar terus memberi dukungan kepada fraksi-fraksi untuk membahas draf RUU Pengaturan Miras.
Sebelumnya, sejumlah anggota Baleg DPR tidak “sreg”’ dengan isi draf RUU tersebut. Menurut mereka, isi draf masih sebatas mengatur pendistribusian dan perizinan peredaran minuman beralkohol semata. Karena itu, Baleg meminta tim ahli Baleg segera memperbaiki draf RUU ini. n amri amrullah ed: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.