REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Potensi pajak dari sektor properti dinilai relatif besar menyusul melonjaknya harga properti dalam beberapa waktu terakhir. Hingga pertengahan Juni, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 384,1 triliun.
Kepala Seksi Hubungan Eksternal Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Chandra Budi mengatakan, penerimaan pajak hingga 14 Juni tersebut telah mencapai 38,6 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 yang dipatok Rp 995 triliun. “Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, terjadi pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 6,6 persen,” ujarnya, Selasa (25/6).
Dari total penerimaan pajak tersebut, pajak penghasilan (PPh) nonminyak dan gas (nonmigas) masih menjadi penyumbang utama dengan perolehan Rp 195,6 triliun. Disusul oleh pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM) Rp 148,9 triliun, pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 742,85 miliar, pajak lainnya Rp 2,17 triliun, dan pajak penghasilan (PPh) migas Rp 36,68 triliun.
Chandra menjelaskan, realisasi ini cukup baik di tengah kondisi perekonomian global yang belum membaik. Untuk mencapai pertumbuhan yang diharapkan pada tahun ini, yaitu sekitar 19 persen, Ditjen Pajak akan terus melakukan upaya penggalian potensi pajak, terutama di sektor unggulan kantor pelayanan pajak masing-masing.
Pada Juli mendatang, secara nasional Ditjen Pajak akan melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang bergerak di sektor properti. Hal tersebut tak lepas dari adanya potensi kehilangan (potential loss) penerimaan pajak yang cukup besar. Menurutnya, banyak transaksi dari proses jual beli tanah maupun bangunan, termasuk properti, real estat, dan apartemen yang dilaporkan.
Pengamat perpajakan dari Tax Center Universitas Indonesia, Danny Septriadi, membenarkan adanya potensi yang relatif besar dari sektor properti dan belum tergarap maksimal. Hal ini, menurutnya, disebabkan pengenaan pajak terhadap properti belum dikenakan berdasarkan harga tertinggi. “Masih menggunakan nilai jual objek pajak (NJOP) dan ini dimanfaatkan wajib pajak saat bertransaksi,” katanya.
Danny menjelaskan. pembelian properti seharusnya menggunakan akta jual beli. Namun, pada praktiknya wajib pajak kerap memanfaatkan perjanjian sementara jual beli (PSJB) sehingga ada kekosongan waktu yang dimanfaatkan wajib pajak.
Dia menambahkan, properti di Indonesia saat ini telah menjadi alat investasi yang digunakan investor untuk berspekulasi. Akibatnya, dalam empat tahun terakhir, harga properti naik gila-gilaan. Di negara lain, apabila harga properti melonjak tidak rasional, pengenaan pajak ditinggikan untuk mencegah terjadinya gelembung (bubble). “Jadi, penerimaan pajak hanya efek samping. Intinya untuk mencegah spekulasi oleh para investor,” ujar Danny.
Guru Besar Perpajakan dari Universitas Indonesia, Gunadi, menyatakan, dengan total penerimaan pajak hingga pertengahan tahun tersebut maka sampai akhir tahun nanti Ditjen Pajak diproyeksikan baru akan mengoleksi penerimaan sekitar 90 persen. Dengan demikian, Ditjen Pajak harus mencari tambahan penerimaan sekitar Rp 95 triliun. Menurutnya, sektor properti bisa menjadi salah satu sumber pajak untuk menutupi kekurangan tersebut.
Gunadi menghitung potensi penerimaan di sektor properti dan konstruksi sebesar 15 persen dari produk domestik bruto (PDB) dalam negeri. Apabila omzet dari kedua sektor itu mencapai Rp 1.050 triliun dan dikenakan PPh dua persen maka terdapat tambahan penerimaan Rp 21 triliun. Akan tetapi, masih kurang Rp 74 triliun. Sehingga, Ditjen Pajak harus mencari penerimaan pajak dari sektor lain. n muhammad iqbal ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.