REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) kepada pelaku usaha kecil menengah (UKM) sebesar satu persen dari omzet pada 1 Juli dinilai tidak adil. Pemerintah diminta untuk memaksimalkan penerimaan pajak dari korporasi dan orang kaya ketimbang membebani pengusaha kecil.
Wakil Ketua Umum Bidang UKM dan Koperasi Kadin Jakarta Nasfi Burhan mengatakan, seharusnya pemerintah membantu meningkatkan permodalan UKM alih-alih menerapkan pajak. “Kita berbicara mengenai kesiapan mereka dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Tapi, malah pajak yang dikenakan, bukan untuk tingkatkan permodalan,” ujarnya, Kamis (27/6).
Menurutnya, UKM saat ini tengah goncang karena upah minimum regional (UMR) dan harga bahan bakar minyak (BBM) naik. Untuk itu, pemerintah diharapkan tidak menerapkan pajak pada sektor tersebut. Pemerintah harus mendukung UKM dengan modal, pelatihan, serta bunga kredit yang murah.
Ekonom Faisal Basri menyatakan, pengenaan pajak tersebut tidak adil bagi pengusaha UKM. Menurut dia, seharusnya pemerintah terlebih dulu memaksimalkan penerimaan pajak dari korporasi dan para orang kaya.
“Bereskan dulu pajak orang kaya, jangan pelaku UKM yang diburu-buru, itu tidak adil karena korporasi-korporasi dan orang kaya belum bayar pajak dengan benar,” katanya. Dia menjelaskan, saat ini penerimaan PPh Pasal 21 hanya Rp 82 triliun yang berarti masih di bawah jumlah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dinikmati oleh kalangan atas.
Faisal menambahkan, bila tetap ingin menerapkan pajak UKM tersebut, pemerintah sebaiknya menggunakan patokan laba usaha sama halnya dengan kebijakan pajak yang ditetapkan kepada korporasi. Hal ini karena dia meyakini bahwa UKM pasti sudah memiliki pembukuan sederhana. “Omzet kan belum tentu untung. Jadi, kalau mengacu aturan ini, untung tidak untung, UKM harus bayar satu persen,” katanya.
Ekonom Centre for Information and Development Studies (Cides) Umar Juoro pun berpendapat sama. Menurutnya, menilai pemberlakuan pajak UKM tidak akan banyak membantu peningkatan penerimaan perpajakan.
“Pada saat kita harus mendorong UKM, semestinya UKM mendapatkan insentif pajak, bukan memberikan tambahan beban,” ujarnya. Menurut Umar, bila pemerintah menginginkan kenaikan penerimaan perpajakan, pemerintah bisa melakukannya dengan meningkatkan kepatuhan pembayar pajak besar.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) mengakui bahwa tidak semua bank umum jago dalam melakukan pembiayaan ke sektor UMKM. Padahal, BI mewajibkan perbankan untuk melakukan pembiayaan ke sektor UMKM minimal 20 persen dari total kredit pada 2018.
Deputi Gubernur BI Bidang Pengawasan Perbankan Halim Alamsyah mengatakan, perlu adanya skema sindikasi dengan Bank Perkreditan Rakyat atau baitul mal wat tamwil (BMT). “BI memahami tidak semua bank ahli pembiayaan UMKM maka kami sarankan melakukan sindikasi atau kerja sama dengan BPR atau BMT,” ujarnya.
Berdasarkan data BI hingga April 2013, penyaluran kredit perbankan ke sektor UMKM sebesar Rp 570 triliun atau 19,6 persen dari total penyaluran kredit perbankan secara keseluruhan. Pembiayaan sektor UMKM tertinggi berada di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Halim mengatakan, pembiayaan sektor UMKM penting untuk didorong karena terbukti tahan krisis dan mampu menyerap tenaga kerja secara signifikan. Selain itu, UMKM berkontribusi 57 persen bagi pendapatan domestik bruto (PDB).
Sebelumnya, Ditjen Pajak menetapkan tarif PPh yang bersifat final sebesar satu persen bagi wajib pajak orang pribadi dan badan yang menerima penghasilan dari usaha dengan omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Aturan ini akan berlaku pada 1 Juli. n satya festiani ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.