REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir puluhan nama politisi yang dinilai tidak pro pada pemberantasan korupsi berujung di ranah hukum. Dua nama yang menjadi korban daftar hitam ICW mengadukan ke kepolisian.
Politisi Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) Ahcmad Yani beserta rekannya sesama anggota Komisi III DPR RI Syarifuddin Sudding dari Partai Hanura, melaporkan ICW ke Bareskrim Polri Senin (1/7). Kedua politisi ini melaporkan ICW dengan dugaan adanya tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik, dan membuat keterangan palsu.
Segala dugaan ini disematkan kepada ICW atas tindakan mereka yang dinilai tak memuat indikator kompeten dalam pemuatan nama keduanya sebagai politisi pro korupsi. “Tindakan mereka sangat merugikan kami, dengan memprovokasi agar tidak lagi memilih kami dalam pemilu yang akan datang,” ujar Yani di depan Gedung Bareskrim Polri Jakarta Selatan Senin (1/7).
Yani mengaku terkejut namanya ada dalam lansiran ICW yang dipublikasikan pada Jumat, pekan lalu. Dia merasa justru selalu berusaha memerangi korupsi, dengan bukti selalu terlibat segala upaya negara dalam mengungkap sejumlah kasus besar korupsi di Indonesia, seperti kasus Bailout Century.
Selain itu, dari lansiran yang ia baca, Yani berujar, tak menemukan alasan kuat apa pun dari ICW dalam mencatut namanya dalam daftar tersebut. Menurutnya, data yang ICW gunakan jauh dari tepat apalagi akurat, bahkan dia menuding peneliti ICW Donald Fariz dan kawan-kawannya telah berbuat gegabah. “Kami dituduh tidak mendukung pemberantasan korupsi hanya karena akan mengubah RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Apakah itu sepadan. UU-nya saja tidak jadi diubah kok,” ujar dia.
Yani mengaku, akibat pemberitaan ICW mengenai daftar caleg bermasalah, keluarganya mendapat intimidasi dari pihak lain. Rasa malu atas tudingan tanpa sebab inilah, kata dia, yang mendorongnya bersama dengan Syarifuddin melaporkan ICW ke kepolisian.
Senada dengan Yani, Syarifuddin merasa lansiran ICW itu tidak ada yang benar. Menurutnya, ICW telah melukai hati dan harga dirinya lantaran ICW yang turut mencantumkan namanya di daftar politisi yang tak mendukung pemberantasan korupsi. “Saya melaporkan karena saya sama sekali tidak merasa berbuat hal yang tak mendukung pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Syarifuddin menegaskan, atas dasar itulah ia dan Yani mengambil langkah tegas dengan mengadukan ICW ke polisi. Menurutnya, sikap ini diambil untuk membuktikan seperti apa bentuk pertanggungjawaban ICW atas lansiran data tersebut.
Sebelumnya ICW membeberkan 36 nama calon anggota legislatif (caleg) yang dinilai tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. ICW menilai 36 caleg tersebut diragukan komitmennya untuk memberantas korupsi apabila terpilih.
Peneliti ICW Donal Fariz mengungkapkan, ke-36 caleg itu pernah disebut dalam sejumlah persidangan yang menerima sejumlah uang. Selain itu, kata dia, ada mantan terpidana kasus korupsi, dan ingin membubarkan lembaga khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Donal, dari 36 calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu, sebanyak 26 caleg di antaranya mencalonkan diri daerah pemilihan masing-masing dengan nomor urut satu atau nomor jadi. Ironisnya, lanjut Donal, sebanyak 10 orang yang tidak pro pemberantasan korupsi ini berasal dari Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum. Hal itu, kata Donal, menunjukkan komitmen pemberantasan korupsi dari partai politik masih sangat buruk. "Karena mereka justru mendapat keistimewaan," ujarnya.
Dari 36 caleg itu, Donal merinci, sebanyak 10 orang berasal dari Partai Golkar, sembilan orang dari Partai Demokrat, lima orang dari Partai Dermokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, dan empat orang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kemudian, Sebanyak dua orang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB) masing-masing seorang. n gilang akbar prambadi ed: muhammad fakhruddin
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.