REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) tak terkejar untuk disahkan pada awal Juli ini. Sebelumnya, Panja RUU JPH DPR menargetkan pembahasan selesai pada 11 Juli dan dapat disahkan dalam sidang paripurna sehari berikutnya. Namun, Ketua Panja RUU JPH Ledia Hanifa mengungkapkan, kemungkinan besar target tak dapat tercapai.
Menurut Ledia, masih ada sejumlah isu yang belum selesai dibahas. “Di kalangan internal, yaitu Komisi VIII, masih harus menyamakan persepsi mengenai isu-isu tersebut,” katanya di Jakarta, Rabu (3/7). Soal badan layanan yang akan memberikan sertifikat halal, dapat dikatakan telah disepakati bersama. Badan ini berada di bawah Kementerian Agama.
Namun, hal yang masih diperdebatkan adalah mengenai pola hubungan. Terutama, mengenai posisi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Belum tuntas pula pembicaraan tentang pola hubungan MUI di badan layanan ini. Apalagi, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI selama ini merupakan badan otonom yang memberikan sertifikat halal produk.
Dalam konteks itu, kata Ledia, bukan soal LPPOM-nya, melainkan MUI secara keseluruhan. Menurut pandangannya, MUI mesti dilibatkan dari awal sampai akhir proses sertifikasi. Sebab, mereka selama ini memiliki auditor dan menetapkan fatwa atas suatu produk. Setelah muncul fatwa halal dari MUI maka sebuah produk akan memperoleh sertifikat halal.
Selain itu, mereka sudah mengembangkan standar halal yang baik. Standar inilah yang kelak menjadi rujukan setelah undang-undang mengenai halal itu disahkan. Masalah lainnya adalah mengenai status sertifikasi halal produk, apakah sukarela atau wajib. Dia berharap sifatnya wajib. Apalagi, dalam aturan undang-undang mengenai pertanian dan pangan juga disebutkan bahwa produk hewan mesti ada sertifikatnya.
Ledia mengatakan, dengan belum tuntasnya pembicaraan tersebut, pengesahan RUU JPH tak dapat dilakukan pada 12 Juli ini. Menurutnya, pembahasan diteruskan setelah masa sidang selanjutnya dimulai, yaitu pada pertengahan Agustus 2013. Belum diketahui kapan pastinya rancangan ini akhirnya disahkan. Padahal, rancangan masuk ke parlemen periode 2004-2009.
Wakil Direktur LPPOM MUI Osmena Gunawan mengatakan, pembahasan RUU JPH sudah lama berlangsung. Kini statusnya masih terkatung-katung. Mestinya, ujar dia, pembahasan tak perlu membutuhkan waktu begitu lama. LPPOM MUI sudah lama melakukan sertifikasi. “Bentuknya, kan sudah berjalan, undang-undang ini mestinya tinggal menguatkan saja.’’
Selama ini, ujar Osmena, lembaganya mengemban tugasnya dengan baik. Banyak sertifikat halal yang telah diberikan untuk beragam produk. “Untuk itu, tidak perlu diobok-obok lagi, dilanjutkan saja,” katanya menegaskan. Jadi, seharusnya jika undang-undangnya berhasil disahkan, dapat memperkuat sistem yang ada.
Lalu, tugas pemerintah adalah memberikan edukasi, memperbanyak sosialisasi tentang pentingnya sertifikasi halal, dan membuat program yang bisa meningkatkan penjualan produk halal. Dia menyatakan, keberadaan undang-undang ini sangat mendesak. Osmena beralasan, pada 2015 nanti berlangsung perdagangan bebas di Asia.
Jangan sampai, produk-produk Indonesia terlibat produk impor lain. Produk Indonesia harus dilindungi oleh sertifikat halal. Di sisi lain, produk impor pun dituntut memiliki sertifikat halal agar bisa masuk ke Indonesia. Dia menegaskan, lembaga pemberi sertifikat halal sebaiknya tetap hanya satu, yaitu LPPOM MUI. Tak perlu ada lembaga lainnya.
Pemerintah cukup hanya memberi label halal pada produk tersebut, namun keputusan dan penilik kehalalan sebaiknya tetap dipegang MUI. Osmena mengatakan, MUI merupakan kumpulan para ulama, perwakilan dari semua aliran Islam di Indonesia. n rosita budi suryaningsih ed: ferry kisihandi
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.