REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah akan mengevaluasi kebijakan pengenaan pajak bagi pelaku usaha kecil menengah (UKM). Sejumlah pihak menilai ketentuan tersebut tak berpihak kepada rakyat kecil.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, evaluasi akan dilakukan setelah melihat pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. “Kalau memberatkan, aturan ini bisa dievaluasi,” ujarnya, Kamis (4/7). Ketentuan dalam perpajakan UKM bisa saja diubah jika pemerintah telah memperoleh hasil evaluasi dari dampak pemberlakuan pajak tersebut.
Dia menambahkan, pemerintah sementara itu akan memastikan, pajak tersebut tidak akan dibebankan kepada pelaku UKM yang bisnisnya berpindah-pindah dan penghasilannya sangat rendah. Selain itu, untuk pelaku UKM yang tengah merintis usaha. Dia menegaskan, tujuan utama penerapan pajak tersebut untuk pembinaan bukan semata-mata meningkatkan penerimaan pajak.
Ekonom Rizal Ramli menyatakan, dasar perhitungan pengenaan pajak bagi UKM berupa omzet Rp 4,8 miliar per tahun sangat tidak lazim. Di negara manapun, lazimnya pajak selalu dikenakan atas laba yang diperoleh. “Yang namanya omzet tidak otomatis menghasilkan keuntungan. Bisa saja perusahaan membukukan omzet besar, namun karena berbagai ongkos dan biaya yang harus dibayar, dia justru merugi,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurutnya, penerapan pajak tersebut menunjukkan rendahnya semangat dan keberpihakan pemerintah kepada pengusaha kecil dan menengah. Perlakuan berbeda ditunjukkan pemerintah kepada lembaga asing dan para pejabatnya melalui aturan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Dia juga mengkritisi alasan Menteri Keuangan Chatib Basri dalam menerapkan pajak UKM. Chatib menyatakan, aturan tersebut bisa membuat pelaku UKM lebih mudah mendapatkan akses perbankan. Namun faktanya, argumentasi Chatib itu ternyata sangat berbeda jauh dengan jawaban para bankir. Mereka menyatakan tidak ada hubungannya antara pengenaan pajak dan akses perbankan.
Hal yang sama diungkapkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi Jambi, Juniwati T Masjchun. Menurutnya, rezim yang sekarang berkuasa bisa disebut “raja tega” karena menerapkan ketentuan tersebut. “Bagaimana mungkin pemerintah bisa mengenakan pajak tambahan terhadap pengusaha kecil dan menengah. Pada saat yang sama, mereka justru membebaskan pajak untuk pihak asing,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Syariefuddin Hasan menyatakan, pengenaan pajak tersebut akan memberikan kemudahan bagi pelaku UKM soal pembukuan. Selain itu, pelaku UKM pun akan terbiasa mempertanggungjawaban keuangan karena memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). “Keberadaan NPWP menunjukkan pelaku UKM tertib membayar pajak dan kredibilitasnya akan meningkat,” ujarnya.
Terkait tudingan sejumlah kalangan yang menyebut pajak UKM akan membebani pelaku usaha, Syarief mengatakan, membayar pajak adalah kewajiban yang tertuang di dalam undang-undang. Pengenaan pajak ini adalah hasil pemikiran pemerintah agar pajak yang dibayarkan UKM lebih rendah. Sebab, dalam UU No 36 Tahun 2008 pada Pasal 17 disebutkan bahwa pajak yang harus dibayarkan adalah 25 persen dari laba.
Lagi pul, menurutnya, pemerintah memilah pelaku UKM yang dikenakan pajak. Pedagang kaki lima, pedagang asongan, pelaku usaha yang berpindah tempat, dan pelaku-pelaku usaha yang tidak melakukan kegiatan usahanya bukan di tempat umum dikecualikan dari aturan ini.
Mulai 1 Juli pemerintah mewajibkan pelaku UKM yang memiliki omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun untuk membayar pajak penghasilan (PPh) sebesar satu persen. Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. PP ini terbit pada 12 Juni 2013. n muhammad iqbal ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.