Jumat 12 Jul 2013 10:52 WIB
Dugaan Korupsi

Giliran Politikus PDIP Masuk Bui

Politisi PDIP Emir Moeis
Foto: Antara
Politisi PDIP Emir Moeis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah menyandang status tersangka selama setahun, Ketua Komisi XI DPR Emir Moeis harus rela menjalani penahanan atas dugaan kasus suap atau gratifikasi pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung. Emir diduga menerima 300 ribu dolar AS untuk meloloskan pemenang tender.

Seusai menjalani pemeriksaan selama lima jam di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Emir langsung digiring ke Rumah Tahanan KPK di Pomdam Jaya, Guntur, Jakarta, Kamis (11/7), pukul 16.00 WIB. Karena tubuhnya terlalu besar, Emir memakai rompi tahanan dengan hanya meloloskan tangan kirinya. Sedangkan, tangan kanan tidak dapat menggapai ujung rompi lainnya.

Emir tidak memberikan komentar atau keterangan apa pun terkait penahanannya kepada wartawan yang telah menunggu di depan Gedung KPK. Ia tetap bungkam dan langsung masuk ke mobil tahanan. Emir ditahan untuk 20 hari ke depan.

Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, alasan penahanan ini karena berkas perkara Emir akan segera lengkap dan dilimpahkan ke penuntutan. "Berkas perkaranya kemungkinan sudah akan selesai untuk ke tahap dua (dilimpahkan ke penuntutan)," ujar Johan.

KPK menjerat Emir dengan Pasal 5 Ayat 2, Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11 dan atau Pasal 12 B UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut mengenai penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat hingga 20 tahun.

KPK menduga Emir menerima suap 300 ribu dolar AS dari PT Alstom Indonesia untuk memenangkan proyek pembangunan PLTU Tarahan pada 2004. Emir menjadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR periode 1999-2004 dan 2004-2009.

Kuasa hukum Emir, Yanuar P Wasesa, mempertanyakan penahanan kliennya karena tidak disertai dengan pemeriksaan terhadap warga negara AS, Pirooz Sharafi, yang menjadi perantara Emir dengan Alstom. "Sekarang fair sajalah, kapan lembaga (KPK) ini bisa panggil Pirooz ke sini," kata Yanuar.

Pirooz merupakan rekan Emir ketika sama-sama menempuh pendidikan di Massachusetts Institute of Technology (MIT), AS. Menurut Yanuar, uang tersebut dikirimkan Pirooz melalui PT Anugerah Nusantara Utama, baru kemudian ke Emir.

Uang ini juga terkait dengan bisnis keduanya dalam bisnis konsentrat nanas ekspor dan kemudian merintis bisnis batu bara bersama Emir. "Jadi, nggak ada uang dari Alstom. Dari Pirooz, bukan dari Alstom," ujarnya.

Meski begitu, Yanuar mengakui Pirooz mengenalkan Emir ke Alstom di DPR, tapi tidak membicarakan soal proyek. Alstom hanya mempresentasikan dapat membuat produk, dalam hal ini PLTU Tarahan, yang murah dan dapat menjualnya ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). "Menurut analisis Emir, dia yakin Pirooz menjual namanya," kata Yanuar.

Yanuar menilai, penahanan Emir ini dipaksakan karena KPK tidak berani untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus PLTU Tarahan. Alasannya, sudah satu tahun penanganan kasusnya, tapi tiba-tiba diperiksa dan langsung ditahan.

Jika KPK berdalih telah menemukan fakta dalam pemeriksaan Emir dan harus menahannya, ia juga menganggapnya omong kosong. Ia mengklaim dari lima jam pemeriksaan, proses tanya-jawab dengan kliennya hanya sekitar satu jam.

Menanggapi hal ini, Johan mengatakan, KPK sudah bekerja sama dengan Departement of Justice di AS terkait upaya KPK meminta keterangan kepada sejumlah orang asing. "Karena saksi tersebut adalah warga negara asing dan tidak berdomisili di Indonesia," ujar Johan. Penyidik sudah memiliki informasi soal pemberi suap.

Jika pemberi suap adalah warga negara asing dan berdomisili di luar negeri, dia tidak dapat dijerat dengan UU Tipikor milik Indonesia. Namun, KPK akan menggunakan mutual legal assistant (MLA). Johan menegaskan, KPK sudah punya alat bukti yang cukup untuk menahan Emir. n bilal ramadhan ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement