REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengemukakan kekecewaan dan kekesalannya atas insiden yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatra Utara. Terlebih lagi, informasi terkait kasus tersebut telah didapatkannya lebih dulu sebelum sempat terpublikasi media massa. Sayangnya, kata SBY, jajarannya lamban mengambil sikap.
“Saya justru tahu lebih dulu dari media massa dibandingkan informasi yang saya dapat dari sistem. Harus sama cepatnya, bahkan kalau bisa, lebih cepat lagi,” kata SBY dengan nada kesal saat rapat kabinet terbatas yang digelar mendadak di Lanud Halim Perdanakusuma, Sabtu (13/7).
Menurut SBY, tidak adanya pernyataan resmi setelah hampir 10 jam peristiwa terjadi sangat tidak bagus. Ia menegaskan, pejabat terkait harusnya tangkas dan sigap mengambil langkah dengan memberikan pernyataan resmi sebelum mengumpulkan data.
“Keluarkan statement saat ada kejadian. Pemerintah sedang mengatasi di daerah, pusat begini, investigasi sedang dilakukan, dan seterusnya. Jangan sampai ada kesan kita tidak melakukan langkah-langkah cepat, pembiaran, dan lain sebagainya. Ini saya ingatkan untuk kesekian kalinya, pernyataan tepat waktu,” tegas Presiden.
Presiden menghargai upaya Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin yang berangkat meninjau lokasi seusai kejadian. Namun, Presiden mengingatkan, tak cukup hanya itu. Perlu ada tindak lanjut dan langkah konkret. Apalagi, lanjutnya, pemerintah sudah menganggarkan Rp 1 triliun untuk perbaikan lapas yang kelebihan kapasitas. “Tujuannya, tak lain untuk menghindari kejadian di Medan. Saya tunggu laporan sudah digunakan untuk apa saja,” katanya.
Direlokasi
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto mengatakan, para narapidana di Lapas Tanjung Gusta akan segera direlokasi. Hal ini untuk mengurangi kapasitas lapas yang minim.
“Diinstruksikan untuk merelokasi para napi ke lapas yang lain, tidak harus di Medan, tapi ke tempat lain,” katanya seusai rapat kabinet terbatas itu.
Pihaknya juga menginstruksikan Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo untuk membentuk tim investigasi atas kejadian di lapas yang menyebabkan lima napi tewas dan ratusan lainnya melarikan diri. “Apakah memang murni ketidakpuasan para napi atas air, listrik, atau ada unsur lain,” katanya.
Ia mengatakan, pemicu utama yang menyebabkan keributan adalah mati listrik dan menjalar kepada macetnya air yang menjadi kebutuhan dasar para napi. Kebutuhan dasar yang terhambat itu menimbulkan keresahan dan kemarahan sehingga terjadilah insiden.
Sejumlah pihak menilai, selain persoalan air dan listrik itu, salah satu faktor pemicu kerusuhan napi dan berujung pada pembakaran lapas itu karena adanya diskriminasi kepada napi teroris, narkoba, dan umum. Ini terkait dengan pengetatan remisi yang diberikan kepada napi. Untuk mencegah kejadian ini terulang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berencana segera mengevaluasi penerapan Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin mengatakan, setelah dilakukan dialog dengan warga binaan lapas, persoalannya tidak sesederhana masalah listrik padam dan air bersih. Permasalahan utama, yaitu kekhawatiran warga lapas dengan implementasi PP 99/2012.
“Air dan listrik memang memicu mengingat ini awal Ramadhan, tapi hanya salah satu faktor. Rupanya, ada situasi yang menimbulkan kerusuhan karena PP 99/2012,” kata Amir dalam sebuah diskusi bertema “Gelap Mata di Tanjung Gusta” di Jakarta, Sabtu (13/7). Para napi menganggap peraturan itu merugikan warga lapas.
Amir mengungkapkan, pada dasarnya, PP itu diterbitkan sebagai respons dari tuntutan yang tinggi dari masyarakat tentang lemahnya pemberlakuan hukuman bagi pelaku tindak pidana kejahatan khusus selama ini. Seperti, pelaku tindak pidana korupsi. Masyarakat menuntut keadilan karena ringannya hukuman yang diberikan kepada para koruptor. Namun, lanjutnya, di sisi lain, pemberlakuan PP 99/2012 memicu keresahan dari seluruh narapidana. Apalagi, petugas Kanwil Kemenkumham dan lapas masih belum memiliki ketegasan menerapkan aturan itu.
“Warga binaan menganggap ada ketidakadilan yang dimunculkan PP 99/2012. Mereka merasa mengapa setelah diadili dan dihukum oleh pengadilan, masih ada lagi bentuk hukuman lain,” ungkapnya.
Untuk itu, ia meminta Dirjen Imigrasi untuk menyampaikan radiogram ke seluruh UPT di Tanah Air bahwa mereka yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum sebelum PP 99/2012 diundangkan masih berlaku aturan lama, yaitu PP 28/2006.
Sedangkan, bagi warga binaan yang putusan pidananya berkekuatan hukum setelah PP 99/2012 diundangkan, akan diberlakukan PP tersebut. Dengan catatan, Kemenkumham dan pemerintah akan melakukan evaluasi lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pemberian remisi. n esthi maharani/ira sasmita ed: syahruddin el-fikri
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.