REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, mempunyai pandangan berbeda dalam pertimbangan putusan sela perkara Luthfi Hasan Ishaaq (LHI). Dua hakim menyatakan pendapat berbeda mengenai kewenangan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anggota majelis hakim, I Made Hendra dan Joko Subagyo, menyatakan perbedaan pandangan (dissenting opinion) terhadap kewenangan jaksa KPK dalam melakukan penuntutan. Keduanya menyatakan jaksa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang (TPPU) ke pengadilan dalam perkara mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
"Penuntut umum yang dimaksud Undang-Undang (UU) 8/2010 hanya penuntut umum di bawah Jaksa Agung atau Kejaksaan Tinggi," kata hakim Hendra, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (15/7).
Jaksa memang tidak hanya mendakwa Luthfi dengan pasal tindak pidana korupsi. Jaksa juga menjerat Luthfi dengan pasal dalam Undang-Undang TPPU. Hendra mengatakan, berdasarkan Pasal 74 dalam UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, KPK memang instansi yang berwenang melakukan penyidikan TPPU yang tindak pidana asalnya dari tindak pidana korupsi. Namun, ia mengatakan, dalam undang-undang itu tidak diatur instansi mana yang berwenang menjadi penuntut umum.
Karena tidak diatur dalam UU 8/2010, Hendra berpendapat, ketentuan bersandar pada UU 8/1981 tentang KUHAP. Pada Pasal 1 angka 6 Ayat 1 dan Pasal 13 KUHP disebutkan, yang diberikan kewenangan untuk melakukan penuntutan adalah jaksa. Karena itu, Hendra menilai, jaksalah yang mempunyai kewenangan penuntutan perkara TPPU ke pengadilan. Ia kemudian memperkuat argumennya dengan ketentuan dalam pasal UU 8/2010.
Dalam penjelasan pasal 71 UU 8/2010, Hendra menyebutkan mengenai ketentuan surat permintaan pemblokiran (TPPU) yang dikirimkan ke penyedia jasa keuangan. Ia mengatakan, untuk tingkat penuntutan harus ditandatangani kepala kejaksaan negeri. Hendra menilai ketentuan itu sesuai dengan KUHP yang dia maksud, pun demikian dengan Pasal 72 Ayat 5 huruf c UU 8/2010.
Karena itu, Hendra menilai, penuntut umum yang patut menuntut LHI adalah jaksa di bawah Kejaksaan Agung dan kejaksaan tinggi. Hakim yang menyatakan dissenting opinion ini menyebut penuntut umum pada KPK tidak termasuk di dalamnya. Ia berpendapat, penuntut umum KPK tidak berada di bawah Kejaksaan Agung atau kejaksaan tinggi. "Melainkan di bawah KPK," kata dia.
Dengan pertimbangan ini, dua hakim tersebut menyatakan, hasil penyidikan KPK atas TPPU perkara Luthfi harus diserahkan kepada penuntut umum kejaksaan negeri setempat. Kemudian, penuntut umum dari kejaksaan yang melakukan penuntutan ke pengadilan.
Hakim Joko melanjutkan, karena penuntut umum pada KPK tidak mempunyai kewenangan untuk menuntut perkara TPPU ke pengadilan, maka tuntutan tidak dapat diterima. Karena itu, surat dakwaan mengenai TPPU Luthfi juga tidak dapat diterima.
Namun, pandangan hakim Hendra dan Joko berbeda dengan sikap hakim lain. Sebab, ketiga hakim lainnya menerima tuntutan jaksa. Perkara Luthfi pun tetap berlanjut.
Dalam putusan sela ini, ketua majelis hakim Guzrizal mengatakan, nota keberatan (eksepsi) penasihat hukum Luthfi tidak dapat diterima. Meskipun ada dua hakim berpendapat berbeda, proses persidangan perkara dugaan korupsi dan TPPU Luthfi tetap berlangsung. "Memerintahkan penuntut umum meneruskan pemeriksaan," kata dia.
Sejumlah keberatan yang diajukan oleh kuasa hukum Luthfi, misalnya, adalah argumentasi bahwa dakwaan terhadap Luthfi bertujuan untuk menjatuhkan Partai Keadilan Sejahtera. Sebab, pihak LHI menilai KPK telah melakukan tebang pilih dan PKS-lah yang sekarang ditebang. "Hal itu bukan materi keberatan sehingga harus dikesampingkan," kata Gusrizal.
Sedangkan, untuk keberatan mengenai tindakan KPK mengenai penyadapan yang dianggap melanggar hak asasi manusia, hakim menyatakan hal-hal tersebut harus dibuktikan. "Hal itu bukan materi keberatan serta merupakan ruang lingkup pembuktian perkara sehingga keberatan harus dikesampingkan," tambah Gusrizal.
Mengenai putusan sela, penasihat hukum Luhtfi, Mohammad Assegaf, mengatakan, pihaknya akan melakukan perlawanan. Meskipun, proses persidangan kliennya akan tetap berlangsung. Assegaf sendiri mengaku terkejut mendengar ada dua hakim yang menyatakan dissenting opinion. "Satu hal baru kami dengar. Sangat surprise. Kalau ada tiga hakim (dissenting opinion), dakwaan batal," kata dia. n irfan fitrat ed: abdullah sammy
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.