Rabu 17 Jul 2013 09:04 WIB
Transportasi Umum

Perbaiki Angkutan Massal

Transportasi umum, sektor yang paling terkena dampak dari kenaikan BBM
Foto: Republika/Aditya
Transportasi umum, sektor yang paling terkena dampak dari kenaikan BBM

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan mobil murah hemat energi tak memberi solusi dalam mengatasi masalah transportasi. Pemerintah seharusnya tetap fokus membangun transportasi publik yang bersifat massal. Setelah publik mendapat sarana transportasi yang layak, kebijakan mobil murah baru bisa dilaksanakan. ''Fokus utama pemerintah tetap transportasi publik,'' kata ahli manajemen inovasi dari Universitas Indonesia, Ali Berawi, Selasa (16/7).

Apabila transportasi massal belum tersedia dengan baik, masalah kemacetan tak akan selesai. Bahkan, kata dia, kemacetan semakin menjadi-jadi setelah munculnya kebijakan mobil murah. Ali menyadari, mobil merupakan kebutuhan publik dan masyarakat berhak memilikinya. Meski begitu, dia menyarankan agar kebijakan mobil murah menjadi prioritas kedua setelah transportasi massal dibangun. Kebijakan mobil murah, kata dia, juga harus diikuti dengan mengurangi mobil impor dan mendukung pengadaan mobil nasional.

Pemerintah telah mengeluarkan regulasi untuk produksi low cost green car (LCGC), yakni Peraturan Menteri Perindustrian No 33/2013 pada 1 Juli 2013. Aturan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No 41/2013. Kedua aturan tersebut memungkinkan agen tunggal pemegang merek (ATPM) mobil memproduksi LCGC dengan keringanan pajak apabila telah memenuhi syarat.

Kebijakan ini memunculkan kekhawatiran meningkatnya kemacetan karena penjualan kendaraan terus bertambah pada setiap tahunnya. Kerugian materi, sistem, dan pengeluaran lain akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp 12,8 triliun pada 2004 lalu. Angka ini bisa meningkat menjadi Rp 65 triliun pada 2020 apabila tidak ada kebijakan mengurangi kemacetan.

Sekretaris Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Eddy Sumedi menilai, seharusnya pemerintah memperbaiki sarana untuk mengatasi kemacetan. "Sebenarnya, alokasi anggaran sarana prasarana jalan itu sekitar 10 persen dari pendapatan asli daerah, tapi pemerintah baru memanfaatkan satu persennya," ujar Eddy.

Sarana jalan, jelas dia, seharusnya mengikuti perkembangan industri otomotif. Apalagi, berkembangnya industri otomotif menambah lapangan pekerjaan. Perusahaan komponen otomotif menyerap tenaga kerja lebih banyak tiga kali lipat dibandingkan industri lain-ini belum termasuk tenaga informal, tenaga penyalur, hingga diler.

Oleh karena itu, Eddy menegaskan, LCGC tak bisa dilarang karena bisa menekan tingkat pengangguran di Indonesia pada 2013 yang masih tujuh juta jiwa. Industri otomotif di Indonesia harus maju seperti di Thailand yang bisa memberi dampak positif pada perekonomian negara itu.

Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin Budi Darmadi mengungkapkan, LCGC mendatangkan investasi hingga 3,5 miliar dolar AS dan menciptakan lapangan kerja untuk 90 ribu orang. Budi mengakui, LCGC menyebabkan kemacetan, tetapi manfaat ekonomi lainnya lebih besar.

"Mungkin hanya 50 kabupaten/kota yang menjadi semakin macet akibat LCGC, seperti daerah Jabodetabek hingga Surabaya," kata Budi. Dia menampik LCGC meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak karena lebih hemat dibandingkan mobil lain. LCGC membutuhkan satu liter untuk 20 kilometer, sedangkan mobil lain hanya 12 kilometer. n aldian wahyu ramadhan/rr laeny sulistyawati ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement