REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Presiden Sementara Mesir Adly Mansour, Selasa (16/7), mengambil sumpah dan melantik kabinet Mesir pascapenggulingan Presiden Muhammad Mursi. Kaum liberal mendapat posisi penting dalam kabinet ini, begitu juga kelompok minoritas. Sementara, tak satu pun sosok dari kelompok Islam ada dalam kabinet yang pengambilan sumpahnya dilakukan oleh mantan hakim agung era Mursi ini.
Perdana menteri yang juga seorang ekonom, Hazem al-Beblawi akan memimpin pemerintahan. Sedangkan, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Abdul Fatah el-Sissi yang menggulingkan Mursi pada 3 Juli lalu tetap menjabat sebagai menteri pertahanan. Namun, ia juga naik ''pangkat'' karena mendapat posisi sebagai wakil perdana menteri.
Menteri dalam negeri era Mursi, Muhammad Ibrahim, tetap berada di posisinya. Ia juga mendapat tambahan tugas untuk mengawasi kepolisian. Sedangkan, Duta Besar Mesir untuk Amerika Serikat (AS) pada 1999-2008, Nabel Fahmy, dipercaya sebagai menteri luar negeri.
Beberapa menteri lain berasal dari kalangan liberal. Sebut saja misalnya Wakil Perdana Menteri dan Menteri Kerja Sama Internasional Ziad Bahaa Eldin yang berasal dari Partai Sosial Demokrat, Menteri Tenaga Kerja Kamal Abu Eita, dan Menteri Keuangan Ahmed Galal yang sebelumnya menjabat direktur Pusat Studi Ekonomi Mesir.
Kabinet ini juga melibatkan kaum minoritas dan perempuan, seperti Menteri Perindustrian Mounir Fakhry Abdel Nur. Tokoh yang pernah menjadi menteri pariwisata ini dikenal sebagai seorang pengusaha Kristen yang sukses. Ada pula Menteri Lingkungan Laila Iskander, seorang Kristen yang ahli dalam pengelolaan sampah.
Kaum perempuan bahkan menempati tiga pos, padahal dalam kabinet-kabinet sebelumnya paling banyak dua orang. Tokoh wanita dalam kabinet ini antara lain Menteri Informasi Dorreta Sharaf el-Din dan Menteri Kesehatan Maha el-Rabat. Sedangkan, tokoh Front Keselamatan Nasional mendapat dua pos, yakni Menteri Solidaritas Sosial Ahmed al-Boraei dan Menteri Pendidikan Tinggi Hossam Eissa.
Dalam susunan kabinet ini tak satu pun tokoh dari kelompok Islam ada di dalamnya. Sebelumnya, juru bicara kepresidenan mengatakan, pihaknya telah menyediakan kursi untuk Ikhwanul Muslimin. Namun, Ikhwanul Muslimin memang sejak awal menolak ambil bagian dalam pemerintahan transisi ini.
Kelompok politik yang mendukung Mursi ini menilai, pemerintahan transisi Mesir tidak sah, terlebih di dalamnya juga terdapat perdana menteri yang tidak sah. ''Kami tidak mengakui siapa pun dalam kabinet itu,'' ujar Juru Bicara Ikhwanul Muslimin Gehad El-Haddad, seperti dilansir dari Aljazirah.
Tak hanya Ikhwanul Muslimin, satu-satunya partai Islam yang mendukung kudeta Mursi, yakni Partai al-Nur, juga tak ada dalam kabinet. Sebelumnya, partai kelompok Salafi ini menangguhkan dukungan kepada pemerintahan transisi sebagai protes atas aksi kekerasan yang menewaskan lebih dari 50 anggota Ikhwanul Muslimin di depan gedung Garda Republik belum lama ini.
Efek Domino
Suara minor mengenai pemerintahan baru Mesir juga terdengar dari Turki. Sejak awal, pemerintahan PM Recep Tayyip Erdogan menyebut pemerintahan transisi di Mesir sebagai pemerintahan yang tidak sah alias inkonstitusional.
Maka, seperti dikatakan Erdogan, Selasa (16/7), Turki hanya mengakui Mursi sebagai presiden Mesir yang sah sampai pemilu berlangsung di Negeri Seribu Menara itu. ''Kami tidak punya presiden selain Mursi di sana (Mesir),'' ujar Erdogan. Sebagai bentuk ketidaksetujuan Turki terhadap pemerintahan transisi Mesir, Erdogan dikabarkan menolak ajakan Wakil Presiden ''inkonstitusional'' Mohamed el-Baradei untuk bertemu.
Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu memperingatkan semua negara Arab untuk tidak mengikuti aksi kudeta ala Mesir. ''Jika kita semua membiarkan sesuatu yang salah ini (seperti) di Mesir, maka akan ada efek domino terbalik,'' ucap dia.
Yang ia maksud dengan efek domino terbalik adalah kembalinya rezim lama ke tampuk kekuasaan. Terlebih, saat ini masih ada elemen-elemen dari sistem lama yang bercokol di Yaman, Tunisia, dan Libya. n ichsan emrald alamsyah ed: wachidah handasah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.