REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri ekonomi syariah Indonesia dinilai masih kekurangan tenaga profesional. Kurangnya ahli membuat tenaga profesional yang telah ada seolah menguasai sendiri sektor ekonomi syariah.
"Ahli yang sudah ada seolah one man show karena tidak ada pemikiran dari profesional lain yang menantang," ucap Wakil Menteri Agama RI Nasaruddin Umar di acara bincang-bincang Ramadhan 2013 yang diselenggarakan Jurnalis Ekonomi Syariah (JES) di Aula Serbaguna Kemenag, Jakarta, Rabu (17/7).
Kondisi ini berbeda dengan di Malaysia. Aturan ekonomi syariah di Malaysia cenderung lebih longgar. Nasaruddin mengatakan, awalnya Malaysia sama seperti Indonesia yang cukup ketat perihal prinsip syariahnya. Namun, setelah Malaysia berhasil mencetak banyak tenaga profesional di sektor ekonomi syariah, maka bermunculan pihak yang menguasai kaidah sehingga kondisi keuangan syariah menjadi lebih cair. "Kalau di Indonesia, tidak ada pembanding, ekonomi syariah masih dikuasai segelintir orang. Kita memang perlu mereka, tapi juga perlu opsi lain," ujarnya.
Nasaruddin bercerita, beberapa tahun lalu ketika direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI) masih dijabat oleh Mulya Siregar, Kemenag pernah diminta BI untuk membantu mencetak 30 doktor ekonomi syariah. Permasalahannya, saat itu Indonesia belum memiliki doktor ekonomi syariah. Akhirnya, Kemenag memutuskan bekerja sama dengan Pakistan.
Namun, permasalahan tidak berhenti sampai di situ karena adanya kendala bahasa. Para kandidat peserta tidak bisa berbahasa Inggris, sementara pengajar Pakistan hanya mampu mengajar dalam bahasa Inggris. "Akhirnya, kami tidak menyanggupi permintaan BI, daripada mencetak profesional yang asal jadi," ujarnya.
Meski begitu, bukan berarti Kemenag tidak melakukan apa pun untuk memajukan ekonomi syariah Tanah Air. Dukungan Kemenag diberikan lewat beasiswa di pondok pesantren maupun perguruan tinggi dalam bidang ekonomi syariah. Hingga kini, jumlah pelajar yang berada di bawah naungan Kemenag mencapai 40 juta orang, baik dari tingkat TK sampai perguruan tinggi.
Menurutnya, sarjana lulusan ekonomi syariah hampir tidak ada yang menganggur karena kebutuhan sumber daya insani (SDI) sangat banyak. "Pernah didata bahwa ekonomi syariah memerlukan sekitar 3.000 sarjana, tapi yang kami cetak baru 300," ujarnya. Banyaknya kebutuhan SDI menunjukkan munculnya peningkatan kesadaran bersyariah.
Nasaruddin mengimbau perbankan syariah agar mampu menjangkau masyarakat hingga pelosok sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengedepankan bank syariah. Perbankan syariah juga harus pandai menyasar perguruan tinggi agar mau menggunakan layanan bank syariah, misalnya dalam pembayaran SPP, khususnya perguruan tinggi Islam. n qommarria rostanti ed: irwan kelana
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.