REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aturan loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) untuk pembelian rumah kedua yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) dinilai tidak akan berdampak signifikan pada perbankan. Aturan ini juga dinilai tidak akan efektif menekan spekulasi di sektor properti.
Wakil Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Evi Firmansyah mengatakan, sebagai bank yang fokus kreditnya pada sektor perumahan, BTN mengaku efek aturan LTV terbaru akan sangat kecil pada perseroan. Hal ini karena sekitar 96 persen nasabah KPR BTN adalah pembeli pertama. “Selain itu, kebanyakan nasabah membeli rumah dengan tipe di bawah 70 meter persegi,” ujarnya, Kamis (18/7).
BTN mengaku hanya memiliki tiga hingga empat persen pembiayaan rumah dengan harga di atas Rp 1 miliar serta KPR untuk rumah kedua dan seterusnya. Meskipun demikian, Direktur Keuangan BTN Saut Pardede menyatakan, aturan tersebut tetap akan mengurangi pertumbuhan kredit hingga akhir tahun.
Untuk mengompensasinya, BTN akan meningkatkan dan fokus membiayai perumahan subsidi dan menengah ke atas. Saat ini, porsi pembiayaan perumahan subsidi di BTN mencapai 49 persen. Sedangkan, sisanya adalah KPR nonsubsidi.
Hal yang sama juga diungkapkan EVP Coordinator Consumer Finance Bank Mandiri Tardi. Menurutnya, nasabah KPR Bank Mandiri mayoritas adalah pengguna rumah, bukan investor atau spekulan. Bank Mandiri pun mencatat dari total 300 ribu nasabah KPR, hanya sekitar 6.000 di antaranya yang menggunakan kredit untuk membeli rumah lebih dari sekali.
Kebijakan LTV, ia melanjutkan, memang akan membuat penyaluran KPR perseroan landai. Namun, hal tersebut diyakininya hanya akan berlangsung sesaat. Tardi mengatakan, akan ada keseimbangan baru setelah aturan tersebut dijalanlan. “Sama seperti aturan uang muka (DP). Efeknya hanya sebulan saja. Itu pun sedikit. Setelah itu, biasa lagi,” katanya.
Saat ini, total penyaluran KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA) perseroan mencapai Rp 24 triliun per Maret 2013. Angka ini tumbuh 28,4 persen dibanding Rp 19,6 triliun pada periode sama tahun sebelumnya. Tahun ini, Bank Mandiri mematok pertumbuhan KPR sebesar 28 persen di atas pertumbuhan pasar di kisaran 23-24 persen.
Tardi menambahkan, aturan LTV itu juga dinilai tidak akan terlalu efektif mengurangi aksi spekulasi properti. Para spekulan, menurutnya, jarang sekali membeli rumah menggunakan KPR karena harga rumah akan menjadi lebih mahal. Lagi pula jika menggunakan KPR, para spekulan harus balik nama dan membayar pajak ketika rumah tersebut dijual kembali.
Meskipun demikian, menurutnya, aturan LTV dinilai bagus untuk memberi sinyal bahwa kenaikan harga properti tak rasional. Aturan tersebut juga secara tidak langsung meminta pengembang untuk menyiapkan rumah pada level menengah ke bawah dan rumah terakhir. Bila pengembang hanya menyediakan rumah yang mahal, masyarakat yang membutuhkan rumah akan kesulitan memilikinya.
Pengamat Ekonomi Agustinus Prasetyantoko mengatakan, KPR tidak akan terkena dampak kebijakan LTV yang dikeluarkan BI. Menurutnya, hanya sedikit kasus orang yang menggunakan KPR untuk rumah kedua. Seharusnya, pemerintah mengatur KPA dan flat yang pertumbuhannya cukup tinggi. “Bisa lewat fiskal. Harus jelaskan uangnya dari mana. Itu sangat mengurangi minat beli,” ujarnya.
Berdasarkan data BI per Mei, pertumbuhan KPA tinggi pada hampir semua tipe, yakni tipe 21, 22-70, dan 70 ke atas. Pertumbuhan tertinggi pada tipe 22-70, yaitu 83,8 persen pada April dan 111,1 persen pada Mei. Untuk KPA flat tipe 21 pertumbuhannya sebesar 118,6 persen pada April dan 100,3 persen pada Mei. Untuk KPA tipe di atas 70, pertumbuhannya mencapai 71,4 persen pada April dan 60,3 persen pada Mei.
Sebelumnya, BI mengusulkan pembelian rumah kedua dan seterusnya dengan KPR untuk tipe 70 ke atas diberi bobot LTV lebih rendah. Hal ini juga berlaku bagi KPA dan kredit rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan). Alasannya, karena tipe tersebut lebih berpotensi menjadi sarana investasi dan spekulasi. n satya festiani ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.