REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan dapat memicu kenaikan rasio kredit bermasalah (net performing loan/NPL) pada perbankan. Rupiah pada Selasa (23/7) ditransaksikan pada level Rp 10.222 per dolar AS, melemah 154 poin dari yang ditransaksikan sebelumnya.
Senior Economist Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, bank-bank yang memberikan pinjaman dalam bentuk dolar AS ke nasabah memiliki potensi kredit macet jika rupiah terus melemah.
Menurutnya, nasabah, terutama korporasi dan komersial, banyak yang tertarik meminjam dolar AS karena suku bunganya yang murah. Ia memprediksi pinjaman dalam dolar AS akan semakin menumpuk.
“Makin lama pemulihan ekonomi di AS, makin banyak yang tertarik,” ujarnya. Oleh karena itu, Indonesia diharapkan berhati-hati. Ia mengatakan, intervensi Bank Indonesia (BI) yang kuat terhadap nilai tukar rupiah akan meyakinkan pasar bahwa rupiah akan stabil. Bila intervensi dilakukan, orang akan semakin berani meminjam dolar AS.
Namun, ia mengatakan, hanya sedikit bank yang agresif memberikan pinjaman dalam bentuk dolar AS. Secara keseluruhan, bank-bank di Indonesia masih aman. Perbankan juga sudah belajar dari krisis sebelumnya. Mereka konservatif mengenai dolar AS dan menganjurkan nasabah untuk meminjam dalam bentuk rupiah.
Berdasarkan statistik perbankan Indonesia (SPI) yang dikeluarkan BI, kredit dalam bentuk valuta asing (valas) yang diberikan bank umum kepada pihak ketiga mencapai Rp 456,4 triliun pada Mei 2013. Angka ini meningkat 14 persen dari Mei 2012. Kredit yang diberikan dalam bentuk rupiah jauh lebih besar, yakni mencapai Rp 2.431 triliun, meningkat 22 persen dibanding Mei 2013.
Meskipun masih terbilang aman, BI telah meningkatkan proyeksi pertumbuhan rasio kredit bermasalah perbankan nasional tahun ini. Direktur Eksekutif Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Mulya Siregar menyatakan, BI sebelumnya memproyeksikan NPL pada kisaran 1,5 persen hingga dua persen. Namun kini, prediksi bank sentral berubah menjadi 1,6 persen hingga 2,1 persen.
“Ini karena situasi global belum stabil sehingga meningkatkan risiko kredit,” ujarnya. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) juga diperkirakan akan meningkatkan NPL. Meski begitu, BI belum menghitung pengaruhnya lebih jauh. Menurutnya, kredit macet tertinggi akan dirasakan sektor konstruksi. Sedangkan, sektor kelistrikan akan membukukan rasio kredit bermasalah paling rendah.
Pengamat pasar uang Farial Anwar menilai, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan akan berlanjut hingga beberapa pekan ke depan. Hal ini disebabkan belum adanya sentimen positif yang akan mendorong penguatan rupiah. Inflasi masih tinggi sehingga banyak orang yang enggan memegang rupiah. Neraca perdagangan juga masih defisit dan mendorong tingginya permintaan dolar AS.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengimbau untuk menjaga likuiditas demi meminimalisasi tekanan di pasar keuangan. Chatib menyebutkan, penyerapan surat utang negara (SUN) dalam dua minggu terakhir mencapai Rp 9 triliun hingga Rp 10 triliun. “Ini artinya likuiditas masih ada. Sehingga, risiko “kekeringan” likuiditas bisa dihindari saat krisis melanda,” katanya.
Ia juga mengatakan, telah berkoordinasi dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan BI agar efek dari pasokan valas yang tipis tidak memukul nilai tukar rupiah lebih jauh. Chatib menambahkan, antisipasi dari sisi domestik bisa dilakukan dengan dibukanya jalur-jalur distribusi arus barang bahan pokok, seperti yang dilakukan beberapa waktu lalu terkait importasi daging dan bahan pokok lainnya. Dengan begitu, ekspektasi inflasi bisa diturunkan dan depresiasi rupiah akan mengecil. n satya festiani/antara ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.