REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah hendaknya membangun gudang-gudang pangan strategis untuk menjamin ketersediaan pasokan di saat suplai menurun. Dengan adanya gudang-gudang tersebut, pemerintah tidak akan lagi mengandalkan impor untuk membangun ketahanan pangan.
Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan) Achmad Suryana menyatakan, pembangunan gudang-gudang pangan strategis bukan berarti pemerintah anti-impor. Impor tetap menjadi solusi akhir untuk menambal kebutuhan atau stok sesuai amanat Undang-Undang Pangan. “Jadi, bukan seperti saat ini, pemerintah mengimpor bahan pangan secara berturut-turut mulai daging, cabai, dan bawang. Bahkan, impor kentang juga sudah mulai terlihat sinyalnya,” kata Suryana di kantor Kementerian Pertanian Jakarta, Selasa (23/7).
Dia mengatakan, pemerintah bisa membuka keran impor apabila kondisi produksi atau panen di dalam negeri mendapatkan masalah. Suryana mencontohkan, komoditas bawang merah saat ini memang perlu impor lantaran panen besar tertunda. Bawang merah baru akan panen besar dua pekan setelah Lebaran. “Ini karena panennya mundur.”
Analogi yang sama bisa dilakukan untuk komoditas sapi. Apabila pemerintah telah berhasil menurunkan harga daging di pasar, seperti intruksi presiden, maka importasi akan kembali ke pola lama. Bulog yang dilibatkan untuk menurunkan harga daging sapi harus kembali ke tugas selanjutnya, yaitu membangun cadangan pangan untuk komoditas strategis masing-masing.
Hingga saat ini, kata Suryana, gudang pangan strategis yang baru terlaksana terbatas untuk komoditas beras. BKP sudah meminta agar setiap daerah harus memiliki gudang cadangan beras sendiri dengan APBD yang dikelola di daerah provinsi dan kabupaten kota. Hal ini sudah terlaksana di Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah. dan sejumlah kabupaten lain.
Selain gudang beras, kini pemerintah memerlukan gudang berpendingin (cold storage) untuk menyimpan cadangan pangan nonberas, seperti daging sapi, ayam, jagung, dan kedelai. Di Jawa Tengah, misalnya, cold storage digunakan untuk meyimpan cadangan jagung konsumsi. “Nah, nanti kalau kondisi paceklik, stok cadangan ini yang digelontorkan,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketersediaan komoditas pangan kerap dilaporkan dalam kondisi cukup. Tahun ini, komoditas pangan pokok, seperti beras, jagung, dan bawang merah, bahkan berlebih menurut data BPS. “Tapi, mengapa harga naik? Nah, itu ada banyak faktornya,” kata Suryana.
Dia menilai, masalah logistik menjadi faktor pertama penyebab harga tinggi. Tersendatnya distribusi dari sentra produksi membuat pasokan terlihat kurang. Angka surplus yang tertera merupakan penjumlahan hasil produksi dari Aceh hingga Papua. Sedangkan, permintaan tertinggi datang dari Pulau Jawa dan DKI Jakarta.
Faktor lainnya adalah keberadaan pedagang yang kerap menguji pasar. Pedagang, menurut Suryana, melakukan uji coba dengan menaikkan harga sedikit demi sedikit. Mereka akan mencermati sampai kapan konsumen akan menerima kenaikan harga. Apabila konsumen dilihat tak tertarik membeli maka harga akan turun. “Kalau rasanya respons masih laku, terus dinaikkan,” ujarnya.
Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) pun ikut memengaruhi harga. Pedagang telanjur berekspektasi bahwa konsumen akan maklum dengan kenaikan harga. Akhirnya, banyak yang telah menaikkan harga sejak awal tahun. Terakhir, pedagang juga menginginkan tunjangan hari raya (THR). “Mereka lalu mencari THR dengan menaikkan harga,” ujar Suryana.
Di kantor Kementerian Perdagangan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Bachrul Chairi menyatakan, pemerintah akan segera mengimpor sapi siap potong asal Australia. Impor sapi potong dilakukan untuk menstabilkan harga daging yang sedang melonjak tinggi.
Menurut Bachrul, Kemendag akan mendatangkan 6.500 ekor sapi secara bertahap. Tahap pertama, sebanyak 1.500 ekor sapi datang pada 1 Agustus 2013. Selanjutnya, berturut-turut tanggal 3 Agustus dan 16 Agustus akan datang lagi masing-masing 1.500 sapi. Kemudian, 2.000 ekor sapi akan didatangkan pada 18 Agustus.
“Saat datang ke Indonesia, sapi-sapi itu akan langsung disebar ke rumah pemotongan hewan yang memenuhi kriteria,” ujar Bachrul saat menggelar konferensi pers di kantornya, Selasa (23/7).
Bachrul melanjutkan, pemerintah sengaja mendatangkan sapi siap potong untuk penghematan. Sebab, impor sapi siap potong telah memperpendek mata rantai penjualan daging. Dengan masuknya sapi impor diharapkan dapat menurunkan harga daging menjadi Rp 75 ribu hingga Rp 80 ribu per kilogram pada H-2 Idul Fitri. Pemerintah akan berhenti melakukan importasi ketika harga daging sudah stabil.n c01 ed: eh ismail
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.