REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bulan Ramadhan dianggap sebagai waktu bagi Muslim untuk berlatih menahan diri. Salah satunya, menahan diri untuk tidak makan berlebihan. Seusai puasa, umat Islam diharapkan dapat terus mempraktikkan menahan hawa nafsu.
Namun, tidak demikian halnya bagi Yaya (55 tahun). Pendorong gerobak barang bekas yang tinggal di bawah pohon depan Rumah Sakit THT Prof Nizar, Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat, ini mengaku justru kuat berpuasa karena terbiasa menahan lapar. Selama 14 hari ini belum satu pun puasanya yang batal. “Sudah biasa perut perih. Malah jadi bisa hemat,” ujarnya.
Yaya mengaku hanya makan sekali tiap Maghrib sepanjang Ramadhan. Padahal, sehari-hari ia berjalan kaki dari Jalan Suryopranoto, bilangan Harmoni, Jakarta Pusat, hingga Tanah Abang. Meski merasa lemas, ia terus berpuasa sesuai niatnya. Bagi pria berkacamata yang sudah 13 tahun menjadi pendorong gerobak itu, harga makanan saat ini terlalu mahal. Ia harus membayar sebesar Rp 10 ribu tiap kali makan di warteg (warung Tegal). Mengeluarkan Rp 30 ribu per hari dinilai terlalu berat oleh Yaya.
Karena itu, ia memilih berpuasa. Untuk berbuka, kadang-kadang ia mendapat kolak dari orang lain. Bila tidak, ia akan pergi ke warteg. Yaya tidak pernah sahur. “Paling ngopi sama rokok, udah.” Tak lupa, Yaya juga melakukan shalat Tarawih berjamaah di masjid. Ia biasa pergi ke masjid di bilangan Petojo Sabangan bersama rekan-rekannya. Namun, siang itu ia mengaku tidak shalat Zhuhur. Kewajiban itu dirasa sulit baginya. “Kecuali yang kayak kita-kita ini dikasih masjid sendiri,” ujarnya.
Pria kelahiran Bandung ini mengaku akan pulang ke rumah ibunya di Nagreg, Jawa Barat, setelah Lebaran tiba. Alasannya, ia butuh bersilaturahim dengan sanak saudara. Bila tidak pulang, ia merasa silaturahim akan terputus dan dia jadi tidak mengetahui keberadaan keluarganya. Rencananya, seperti tahun-tahun sebelumnya, ia akan naik bus dari Kampung Rambutan menuju Bandung. Dari Bandung, ia akan menumpang mamangnya (paman) untuk pulang ke Nagreg.
Keinginan untuk pulang kampung juga disampaikan oleh Warno (55 tahun). Ketika ditemui, Warno mengaku tak berpuasa karena merasa tak kuat. Rekan pendorong gerobak Yaya ini mengaku berencana pulang ke Ungaran, Semarang, beberapa hari setelah Lebaran. Ia enggan pulang sebelum Lebaran karena tiket bus yang dirasa terlalu mahal. Namun, ia mengatakan rencana itu belum pasti, tergantung apakah cukup uang atau tidak ketika itu.
Pria yang sudah tiga tahun memungut barang bekas ini harus mempersiapkan cukup uang bila ingin pulang kampung. Di desanya, ada banyak keponakan yang akan meminta tunjangan hari raya (THR) kepadanya. Tak hanya itu, ia juga ingin memberikan uang kepada ibunya. Warno bercerita, sekali pulang, ia bisa membawa uang hingga Rp 3 juta. Kepada ibu dan saudaranya, pria yang sudah bercerai ini mengaku bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta. Ia tak mau mengaku bekerja sebagai pendorong gerobak barang bekas.
Awalnya, Warno dan Yaya adalah buruh proyek bangunan pada sekitar tahun 1990-an. Menurut Warno, saat ini tak mudah bekerja di proyek karena biasanya mandor membawa tukang dari daerah asalnya. Itulah sebabnya mereka beralih pekerjaan menjadi pendorong gerobak barang bekas.
Warno mengungkapkan, pendapatannya memang tak seberapa, tapi ia masih lebih memilih menjadi pemulung barang bekas. “Biar melarat, saya malu kalau ngemis. Mending begini, yang penting halal,” katanya. Ia menuturkan, memang banyak orang yang datang dari daerah untuk mengemis selama bulan puasa. Ia tak mau jadi bagian dari mereka. “Masih muda, masih bisa kerja. Jangan ngemislah!” n mg03 ed: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.