REPUBLIKA.CO.ID, Belasan anak terlihat bermain di halaman rumah di Jalan Pemuda, Kelurahan Oyehe, Kecamatan Nabire, Kabupaten Nabire. Sejumlah orang dewasa terlihat mengawasi anak-anak itu bermain, seorang di antaranya menggendong anak.
Seperti halnya anak-anak lain, anak-anak Papua di Nabire juga memiliki cita-cita yang tinggi. Trivena Janet, misalnya. Anak perempuan berusia lima tahun yang belum bersekolah itu bercita-cita menjadi guru. “Saya ingin menjadi ibu guru supaya bisa bikin teman-teman pintar,” katanya polos.
Saat ditanya adakah yang ingin menjadi polisi, Samuel Sam yang juga masih berusia lima tahun mengangkat tangan. Dia bilang ingin menjadi polisi supaya bisa menjaga ibunya. Lusi Runaki, siswi kelas IV SD Inpres Kota Baru Nabire, memiliki cita-cita yang berbeda. Saat ditanya, dia menjawab ingin menjadi dokter. “Supaya bisa sembuhkan orang-orang sakit,” ujarnya.
Potensi olahraga, terutama sepak bola, dan ketenaran klub Persipura Jayapura rupanya juga menginspirasi anak-anak Nabire untuk menjadi pesepak bola. Rahul Abraham Inggeruhi, misalnya. Siswa kelas IV SD YPK Sion itu ingin menjadi pesepak bola.
Bukan Boaz Solossa yang menjadi idolanya, melainkan pemain Barcelona, Lionel Messi. Messi mainnya bagus. Dia juga terkenal. “Saya ingin seperti Messi,” tuturnya. Apakah kalian ingin membangun dan mengembangkan Papua? Mereka serempak menjawab, “Yaaa .…” Saat ditanya ingin menjadikan Papua seperti apa, ada yang menjawab seperti Jakarta, tapi ada juga yang menjawab ingin Papua maju seperti Amerika Serikat.
Marlin Yohana Simunapendi, salah satu orang dewasa di lingkungan itu yang menjadi kakak bagi mereka, mengatakan, anak-anak di Nabire memang hampir setiap hari ceria dan senang bermain-main. Biasanya, mereka sekolah dari pukul 07.00 hingga pukul 12.00 WIT. Sepulang sekolah, seusai makan siang, mereka mulai bermain-main. Lingkungan rumah yang dirimbuni pepohonan membuat mereka tak kepanasan saat bermain.
Namun, di balik asa dan cita-cita anak-anak di Papua, ternyata perburuhan anak juga menjadi permasalahan yang mendera mereka. Minimnya sarana pendidikan mendorong orang tua memaksa anak-anaknya bekerja.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Papua Betsy Pesiwarissa menyatakan keprihatinannya terhadap perburuhan anak di bawah umur yang masih banyak terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat. Saya melihat buruh anak ini banyak yang bekerja bukan sebagai buruh formal. “Kebanyakan buruh informal dan pekerja lepas sehingga sangat memprihatinkan,” kata Betsy Pesiwarissa di Jayapura.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan, pada semester I 2013, sekitar 34,7 persen dari 4,7 juta buruh anak berada di Provinsi Papua. Menurut Betsy, kebanyakan buruh anak di Jayapura menjadi pekerja kasar, kuli pikul, dan pembantu di pasar. Betsy menjelaskan, para majikan yang mempekerjakan buruh anak tanpa memperhatikan keselamatan dan kesehatan anak tersebut telah melanggar hukum.
LBH Apik meminta pemerintah bisa lebih berperan dalam mengatasi permasalahan buruh anak dengan memberikan kesejahteraan yang lebih merata kepada orang tua agar tidak mempekerjakan anak mereka. Selain itu, dia mengatakan, kualitas pendidikan di Jayapura dan Papua umumnya belum terpenuhi dengan baik sehingga banyak warga yang memilih untuk mempekerjakan anaknya.
Betsy mendukung pemerintah untuk mendata berapa banyak anak di bawah umur yang bekerja sebagai buruh kasar. Setelah diketahui, baru diberi pendidikan. “Pemerintah bisa menyosialisasikan program secara lebih luas kepada masyarakat Papua agar perburuhan anak bisa berkurang,” katanya. n antara ed: burhanuddin bella
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.