Kamis 01 Aug 2013 08:27 WIB
Investor Asing

RI Waspadai Investor Sawah

Petani menanam bibit di sawah. (Ilustrasi)
Foto: Antara/Yusran Uccang
Petani menanam bibit di sawah. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Ketertarikan investor asing menggarap bisnis persawahan nasional perlu ditanggapi dengan hati-hati. Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Tunggul Iman Panudju menduga, rencana investor asing mengembangkan usaha persawahan nasional akan diwujudkan dengan memanfaatkan lahan atau sawah yang ada.

“Karena sawah yang diincar investor, saya dengar luasnya mencapai satu juta hektare. Kalau itu terjadi, dugaan saya investor akan memanfaatkan sawah yang ada dan tidak akan mencetak sawah baru,” ujarnya kepada Republika, Rabu (31/7). Menurut Tunggul, biaya mencetak sawah baru cukup tinggi. Investor pun perlu melakukan penjajakan intim dengan petani sebagai pemilik lahan. Tanpa kolaborasi tersebut, akan sulit untuk mendapatkan lahan satu juta hektare.

Tunggul melanjutkan, potensi lokasi lahan yang cukup besar untuk usaha persawahan berada di luar Pulau Jawa, salah satunya di Papua. Sedangkan, jika ingin berinvestasi di Pulau Jawa, investor harus membina para petani agar setuju menjadi produsen mitra bagi perusahaan.

Untuk menggarap satu hektare sawah yang telah tercetak, biaya yang digelontorkan sekitar Rp 7,5 juta hingga Rp 10 juta. Apabila investasi sebesar Rp 20 triliun hingga Rp 50 triliun yang sering digaungkan investor benar adanya, modal yang dimiliki investor sudah lebih dari cukup. “Jangan sampai kita terjebak karena melihat iming-iming modal yang besar,” ujarnya.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Indonesia Winarno Tohir mengatakan, niat investor asing dari Cina dan Malaysia yang ingin menggelontorkan dana Rp 20 triliun untuk usaha persawahan di Indonesia seakan menyentil pemerintah. Investor asing, kata Winarno, ternyata lebih jeli melihat potensi bisnis persawahan di dalam negeri ketimbang Pemerintah Indonesia.

“Asing justru incar sawah kita karena tahu potensinya sangat bagus, sementara pemerintah justru hendak membangun lahan pertanian di Kamboja. Mengapa pemerintah tidak memaksimalkan saja lahan yang ada di Indonesia?” kata Winarno.

Winarno melanjutkan, petani pada dasarnya tidak akan menolak rencana investasi persawahan oleh asing. Hanya saja, perlu dilihat dulu rencana investasi tersebut menyangkut pemasaran hasil produksinya. Petani keberatan apabila hasil lahan digunakan untuk memasok kebutuhan negara investor. “Kalau dibawa ke negaranya, kami keberatan. Jelas luas lahan kita jadi sempit, mereka mengurangi aset kita,” ujarnya. Petani akan senang apabila kedatangan investor asing membawa serta teknologi pertanian yang modern yang bisa mendukung budi daya lahan pangan nasional.

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Faisal Basri menilai, berita tentang adanya nota kesepahaman (MoU) antara perusahaan perkebunan Cina Liaoning Wufeng Agricultural dengan Malaysian Amarak Group dan perusahaan lokal Indonesia Tri Indah Mandiri untuk membangun lahan persawahan dan proyek pengolahan terpadu di Indonesia adalah berita yang tidak masuk akal. Faisal menyangsikan kebenaran kabar tersebut karena lahan persawahan di Pulau Jawa sudah padat.  “Saya bukannya tidak setuju. Tapi, saya heran 2 miliar dolar AS itu untuk berapa hektare lahan? Ini kan lahannya tidak ada,” katanya.

Kecuali, kata Faisal, apabila investasi persawahan dilakukan di wilayah koridor enam dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang memang diperuntukkan untuk lokasi tanaman pangan. Selain itu, harus ditanya dulu investor itu mau menanam apa dan produksinya dijual ke mana.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin menegaskan, pihak asing tidak mungkin dapat berinvestasi membangun lahan persawahan dan proyek pengolahan terpadu di Indonesia. Kendati demikian, Bustanul menjelaskan, MoU antara tiga perusahaan perkebunan tersebut boleh-boleh saja terjadi.

“Mungkin mereka memiliki 2 miliar dolar AS atau senilai Rp 20 triliun. Tetapi, saya tidak menduga mereka akan benar-benar membangun lahan persawahan dan proyek pengolahan terpadu di Indonesia,” katanya. n meiliani fauziah/rr laeny sulistyawati ed: eh ismail

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement