REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingginya harga pangan dan transportasi pascakenaikan harga BBM telah melonjakkan inflasi Juli. Pemerintah diminta melakukan intervensi dan menjamin pasokan serta distribusi makanan agar dampak negatif ini bisa ditekan.
Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, intervensi pemerintah yang lemah terhadap pergerakan inflasi membuat rakyat merasakan dampak negatif ini. Ia mendesak pemerintah untuk bertindak lebih serius terutama terkait suplai makanan dan kelancaran distribusi. "Dengan begitu, inflasi tahunannya bisa agak stabil. Kalau tidak, ya akan naik terus, mengingat harga tidak akan turun secara otomatis," kata Purbaya, Kamis (1/8).
Imbas inflasi akibat kenaikan harga BBM ini, jelas Purbaya, memang sulit untuk diantisipasi. Namun, pemerintah bisa meredamnya ketika inflasi menjalar ke kelompok bahan makanan. Menurut Purbaya, pemerintah seharusnya lebih banyak menyuplai ke sistem, tetapi terlambat mengimpor pangan.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengumumkan inflasi Juli 2013 sebesar 3,29 persen. Tingkat inflasi Januari-Juli 2013 menjadi 6,75 persen dan inflasi tahunan atau Juli 2013 terhadap Juli 2012 sebesar 8,61 persen.
Tingkat inflasi tahunan pada Juli 2013 merupakan yang tertinggi sejak Januari 2009, 9,17 persen. Secara bulanan, inflasi Juli 2013 merupakan yang tertinggi sejak Juli 1998, 8,56 persen. Inflasi tinggi pada 1998 itu akibat krisis ekonomi
Penyebab utama inflasi Juli 2013, jelasnya, kenaikan harga BBM yang diikuti kenaikan tarif angkutan dalam kota, harga bawang merah, dan harga daging ayam ras. Kenaikan harga Premium memberi sumbangan inflasi 0,77 persen dengan perubahan harga pada Juli 2013 terhadap Juni 2013 sebesar 25,27 persen.
Inflasi pada bawang merah juga disebabkan kurangnya pasokan di pasar, sedangkan inflasi pada daging ayam ras akibat tingginya permintaan pada awal Ramadhan. Selain keempat komponen di atas, ikan segar, cabai rawit, dan beras turut berkontribusi pada inflasi Juli 2013.
Dari pasar uang, nilai tukar rupiah bergerak melemah 10 poin menjadi Rp 10.290 per dolar AS dibanding sebelumnya Rp 10.280 per dolar AS. Pelemahan ini terkait keluarnya data inflasi yang melebihi ekspektasi. Sementara, Indeks Harga Saham Gabungan BEI ditutup naik 13,96 poin atau 0,03 persen ke posisi 4.624,39.
Kenaikan ini terjadi karena sebagian besar bursa Asia menguat menyusul pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang lebih cepat dari yang diperkirakan. Sementara di Cina, sektor manufaktur tumbuh baik, dan di Jepang laba perusahaan-perusahaan besar tumbuh kuat.
Deputi Bidang Statistik dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo memperkirakan tingkat inflasi pada Agustus akan lebih rendah dibandingkan Juli. Dia memperkirakan besaran inflasi akan berada di bawah titik satu persen. "Setelah Lebaran, harga akan turun karena ada penurunan permintaan," ujar Sasmito.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengaku optimistis inflasi bulanan akan turun menjadi 0,9 persen pada Agustus dan akan normal kembali pada September. "Tapi mesti hati-hati, menjelang akhir tahun ada kecenderungan naik," ujar Agus. n muhammad iqbal/satya festiani ed: m ikhsan shiddieqy
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.