REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Antrean panjang di pelabuhan penyeberangan Merak-Bakauheni hampir terjadi setiap mudik Lebaran. Para pemudik harus mengantre berjam-jam agar bisa terangkut kapal feri yang hendak menuju ke Lampung.
Pakar transportasi Universitas Indonesia Sutanto Soehodo mengatakan, persoalan antrean panjang ini tak terlepas dari kapasitas kapal maupun dermaga yang di bawah keoptimalannya. Kapasitas sudah tak mampu memenuhi besarnya jumlah penumpang.
Seharusnya, kata dia, pemerintah mulai berpikir melakukan modernisasi kapal-kapal yang sudah tua. “Jadi, kalau sekarang, misalnya, daya angkut kapal itu cuma 100 unit, bagaimana ke depan, bisa sampai 200 unit,” ujarnya saat dihubungi Republika, (5/8).
Sutanto kurang setuju dengan pembangunan Jembatan Selat Sunda. Karena, dia belum melihat nilai keekonomian yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan pembiayaannya. Pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago menyebut, penyebab terjadinya kemacetan lantaran semua kapal pengangkut berusia tua. Belum ditambah dengan keterbatasan unit kapal. Dengan jumlah kapal yang beroperasi sekitar 20 unit, kata dia, tentu saja banyak kendaraan yang harus mengantre agar bisa menyeberang ke pulau sebelah.
Andrinof heran, Indonesia sebagai negara kepulauan, di penyeberangan terpadat malah warga hanya dilayani dengan kapal feri tua. Selain tidak layak, menurut dia, kapal itu harusnya sudah menjadi bangkai lantaran lebih mendukung pebisnis barang bekas.
“Semua armada bermesin mengalami hal sama. Kalau sudah tua, kecepatan pasti menurun,” katanya, Senin (5/8). Dia juga menganalisis, ada dua sumber masalah utama kapal tua. Pertama, kecepatan jelajah menurun. Kedua, frekuensi mogok yang meningkat.
Ia melanjutkan, terjadinya kemacetan yang selalu berulang setiap tahunnya di Pelabuhan Merak lantaran jumlah kapal yang beroperasi selalu kurang dibanding volume kendaraan yang meningkat drastis.
Andrinof menyarankan agar pemerintah membuka mata dengan menganggarkan dana lebih untuk dibelikan armada penyeberangan baru. “Bisa dialokasikan sebesar Rp 500 miliar hingga Rp 1 triliun dalam APBN, ia optimistis masalah penumpukan kendaraan setiap arus mudik dan balik bisa teratasi,” tuturnya.
Adapun, untuk pengelolaan kapal feri yang melintasi Selat Sunda itu, nantinya bisa dikelola PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP). “Kasih ASDP kapal-kapal baru. Kapal swasta dibatasi usia maksimal 10 tahun,” ujar Andrinof.
Sebelumnya, terjadi kemacetan parah antrean kendaraan pemudik di Pelabuhan Merak, Banten, pada Ahad (4/7) dini hari WIB. Pada puncak arus mudik itu, kendaran mengular hingga ke dalam jalan Tol Tangerang-Merak KM 94 atau sekitar sembilan kilometer dari Pelabuhan Merak.
Humas PT ASDP Indonesia Ferry Cabang Merak Mario Sardadi menyatakan, kemacetan disebabkan oleh volume kendaraan yang terus meningkat. Sedangkan, jumlah kapal angkut roll on roll off (RoRo) yang beroperasi hanya 28 unit. Alhasil, armada yang terbatas tidak mampu mengimbangi jumlah kendaraan yang ingin menyeberang ke Sumatra. “Kapal yang beroperasi sudah maksimal,” katanya.
Di tempat sama, ratusan sopir bus ‘mengamuk’ di Dermaga I Pelabuhan Merak karena pengaturan lalu lintas memprioritaskan kendaraan pribadi lebih dulu naik ke kapal. “Kami sangat terpukul dengan pengaturan lalu lintas seperti itu,” kata seorang sopir jurusan Jambi, Sop, di Pelabuhan Merak.
Ia mengatakan, para sopir sangat keberatan dengan sistem pengaturan lalu lintas yang memprioritaskan kendaraan pribadi. Sebab, menurut mereka, bus juga membawa pemudik yang ingin secepatnya diseberangkan ke Pelabuhan Bakauheni, Lampung. “Kami menuntut keadilan agar pengaturan lalu lintas disamakan dengan kendaraan pribadi,” katanya. Dia telah tiba di Pelabuhan Merak sejak pukul 07.00 WIB, namun sampai pukul 21.00 WIB belum juga diseberangkan.
Begitu pula Supriyadi, sopir bus ekonomi jurusan Lampung, menyatakan kecewa terhadap pengaturan lalu lintas yang mendahulukan kendaraan pribadi. Padahal, kata dia, bus juga membawa penumpang, termasuk anak-anak kecil, dan mereka kelelahan.
Bahkan, menurut dia, di antara penumpang ada yang pingsan karena mereka berada di dalam bus berjam-jam. “Kami datang ke sini pukul 06.00 WIB, sampai malam pukul 21.00 WIB atau sekitar 15 jam belum diseberangkan ke Bakauheni, Lampung,” katanya. n erik purnama putra ed: teguh firmansyah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.