REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perayaan kemerdekaan Republik Indonesia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih dibayangi sengketa qanun bendera Aceh. DPR berharap otoritas daerah Aceh tetap menghormati komitmen perdamaian dengan tidak mengibarkan bendera Aceh menjelang proklamasi 17 Agustus.
"Mestinya Pemda Aceh komit pada NKRI seperti yang dituangkan dalam Perjanjian Helsinki," kata Wakil Ketua Komisi II, Abdul Hakam Naja, Kamis (14/8). Menurut Hakam, otoritas kebijakan-kebijakan yang bertentangan hukum positif nasional mesti dihindari.
Menurutnya, pemerintah pusat maupun Pemprov Aceh mesti bersikap tegas menurunkan setiap pemasangan simbol-simbol bendera yang mengandung unsur separatis. Dia berharap ada kesepakatan yang dicapai antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah Aceh dalam menetapkan simbol daerah.
Qanun tentang bendera dan lambang Aceh disahkan pada Juni oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Dalam qanun tersebut, deskripsi bendera Aceh sama persis dengan panji yang digunakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam konflik bersenjata dengan TNI sejak 1970.
Pemerintah pusat melalui Kemendagri keberatan karena penggunaan bendera dan lambang tak sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Disebutkan dalam perundangan tersebut, lambang daerah tak boleh menyamai lambang dan bendera gerakan-gerakan separatis.
Kementerian Dalam Negeri dan Pemprov Aceh telah membentuk tim gabungan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Tim tersebut akan mendesain ulang bendera Aceh agar tak serupa dengan panji GAM. Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Tohari melihat pengibaran bendera Aceh menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia akan menjadi langkah yang terlalu dramatis. Dia meminta hal itu tidak dilakukan. Hajriyanto menyatakan, saat ini rakyat Aceh menghadapi berbagai persoalan sosial-ekonomi yang kompleks. Pengibaran Bendera Aceh sama sekali tidak akan memberi solusi terhadap persoalan rakyat.
Hari perdamaian
Rencana pengibaran bendera Aceh juga sempat mengemuka menjelang peringatan tahun ke-8 Kesepakatan Damai Helsinki yang jatuh pada 15 Agustus. Tanggal itu mengacu pada penandatanganan nota kesepakatan damai antara RI dan GAM di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.
Nota kesepakatan damai atau dikenal dengan MoU Helsinki tersebut merupakan akhir dari konflik Aceh yang berlangsung hampir 30 tahun. Kendati demikian, kekhawatiran pengibaran bendera tak terwujud.
Peringatan perdamaian dirayakan sederhana di Aceh, seperti di Kabupaten Aceh Utara dipusatkan di Kecamatan Samudera. Selain upacara, juga digelar doa dan zikir bersama yang diikuti seribuan warga di Kantor Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Samuda Pase yang dipimpin Tgk Abuya Jamaluddin Wali.
Ketua KPA Wilayah Pase Tgk Zulkarnaini mengharapkan agar hak-hak Aceh yang tercantum dalam butir MoU Helsinki direalisasikan sehingga perdamaian di daerah ini tetap terjaga. Ia juga mengajak warga tidak henti-hentinya berdoa agar cita-cita masyarakat Aceh segera terwujud, yakni kemakmuran dan jauh dari musibah.
Pemprov Aceh juga menetapkan 15 Agustus sebagai hari perdamaian yang akan diperingati setiap tahunnya di provinsi ujung barat Pulau Sumatra tersebut. "Penetapan hari perdamaian Aceh ini akan ditetapkan melalui peraturan gubernur Aceh," kata Kepala Biro Humas Setda Aceh Nurdin F Jos di Banda Aceh, kemarin. Ia mengatakan, Biro Hukum Setda Aceh tengah menyusun draf peraturan penetapan hari perdamaian Aceh. n m akbar wijaya/antara ed: fitriyan zamzami
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.