Selasa 20 Aug 2013 02:57 WIB
Politik Mesir

Diplomasi AS di Mesir Gagal

Militer Mesir melakukan pengamanan di sekitar masjid tempat berkumpul massa pendukung Muhammad Mursi
Foto: AP
Militer Mesir melakukan pengamanan di sekitar masjid tempat berkumpul massa pendukung Muhammad Mursi

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO — Jalan buntu politik di Mesir meninggalkan jejak kegagalan diplomasi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Keduanya telah gagal melobi militer Mesir agar tidak menggunakan jalur kekerasan dalam upaya membubarkan demonstrasi Mesir.

Menurut Diplomat Uni Eropa Bernandino Leon, dia sempat memberitahukan pendukung Mursi tentang indikasi dibebaskannya dua pemimpin Ikhwanul Muslimin oleh rezim militer Mesir. 

Saat itu, puluhan atau bahkan ribu pengunjuk rasa pendukung presiden terguling, Muhammad Mursi, turun ke jalan mendesak agar kekuasaan Mursi dipulihkan. Di sisi lain, militer telah bersiap membubarkan para pengunjuk rasa. Namun, satu jam berlalu, tidak ada perubahan. Begitu pula jam-jam berikutnya, tidak ada satu pun tanda-tanda pemimpin Ikhwanul Muslimin yang merupakan basis pendukung Mursi akan dibebaskan. 

Amerika lalu meningkatkan tekanannya ke Mesir. Dua senator AS yang diutus ke  Kairo, John McCain dan Lindsey Graham, bertemu dengan Panglima Militer Jenderal Abdul Fattah al-Sisi. Sisi merupakan tokoh sentral di balik penggulingan Mursi. 

Dua Senator AS ini meminta agar dua petinggi Ikhwanul Muslimin dibebaskan. Namun, pemerintahan al-Sisi menolaknya. “Anda bisa melihat orang-orang (di Mesir) sudah ingin saling beradu jotos,” kata Senator AS Lindsey Graham, seperti dilansir New York Times, akhir pekan lalu.

Menurut Graham, perdana menteri Mesir sementara saat ini, Hazem el-Beblawi, adalah bencana. Dia mencoba untuk terus mengajarinya penegakan hukum. “Kamu (Graham), tidak bisa bernegosiasi dengan orang-orang seperti ini. Mereka seharusnya menghentikan turun ke jalan dan menghormati aturan hukum,” ujar sang perdana menteri, seperti dinyatakan Graham.  

Senator AS tersebut sedikit geram. Graham lalu mengatakan,”Tuan perdana menteri, sangat sulit buat Anda untuk mengajari seseorang tentang penegakan hukum. Berapa suara yang telah kalian dapat dalam pemilu? Oh iya, Anda terpilih bukan melalui pemilihan.”

Komunikasi itu terjadi pada 6 Agustus. Keduanya lalu berjalan ke luar ruangan Beblawi dengan perasaan suram dan yakin kekerasan akan segera memuncak. Tetapi, dua diplomat tersebut masih memiliki harapan, setidaknya pemerintahan Mesir tidak menyatakan pembicaraan telah gagal.

Keesokan paginya, pemerintah justru menyatakan upaya diplomatik telah gagal. Sepekan kemudian, militer Mesir membubarkan paksa pengunjuk rasa di Rabiah Aladawiyah dan alun-alun Nahda. Lebih dari 1.000 orang mayoritas pendukung Mursi tewas. New York Times mencatat 17 kali panggilan telepon dari utusan di Washington dan Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel ke kantor Sisi. Namun, Sisi bergeming.

Presiden AS Barack Obama kemudian mengeluarkan sikapnya mengecam pembantaian tersebut dan membatalkan latihan militer bersama dengan Mesir yang akan dilakukan September mendatang. Sayangnya, Obama tidak mencabut penyaluran bantuan militer Mesir sebesar 1,3 miliar dolar AS per tahun.

Padahal, bantuan ini merupakan simbol utama bagi Paman Sam, apakah mendukung atau menolak kudeta dan aksi kekerasan tersebut. Para senator dan aktivis hak asasi manusia di AS berharap agar Obama mencabut bantuan tersebut sampai pemerintah sementara Mesir mengembalikan kembali negara ke arah demokrasi.

Di Jakarta, Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Almuzzammil Yusuf, menerangkan bahwa selain militer Mesir, AS adalah pihak yang paling bertanggung jawab di balik pembantaian di Mesir. Selama ini, militer Mesir adalah mitra strategis AS di Timur Tengah untuk melindungi kepentingan strategis Israel melalui bantuan keuangan, persenjataan, dan pendidikan militer.

“Jika mau, sebenarnya AS bisa hentikan pembantaian militer Mesir terhadap rakyat Mesir. AS adalah mitra strategis dan donatur terbesar Militer Mesir. Tapi, hal itu tidak dilakukan. Kebijakan AS mendiamkan pembantaian tersebut membuktikan AS di balik konflik di Mesir,” ujar Muzzammil dalam keterangan tertulisnya, Senin (19/8).

Pemerintah Amerika memberikan 1,3 miliar dolar AS per tahun untuk jenderal-jenderal Mesir sejak 1987. Amerika juga menyuplai 1.200 tank Abraham M1, 221 jet tempur, dan sejumlah senjata tangan buatan AS dengan nilai miliaran dolar AS.

Setiap tahun sebanyak 500 perwira militer Mesir mengikuti pendidikan dan pelatihan militer di AS sejak tahun 1978. Agenda utama AS, kata Muzzammil, adalah untuk menjaga sekutunya, Israel di Timur Tengah, agar terlindungi dari bahaya Arab Spring yang terjadi di Mesir dan menjaga kepentingan strategis AS di Terusan Suez. “Jadi, tergulingnya Presiden Mursi bagi AS untuk mengembalikan kemitraan strategis Israel-Mesir yang pernah terbina di masa rezim Mubarak.” n bambang noroyono ed: teguh firmansyah

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement