Rabu 21 Aug 2013 02:36 WIB
Kinerja Perusahaan

Shell Indonesia Bangun Pabrik Baru

A Shell's gas station (illustration)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
A Shell's gas station (illustration)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Shell Indonesia resmi merealisasikan pembangunan pabrik pelumasnya di Indonesia. Pabrik akan berlokasi di Marunda Center, Jakarta Utara, dan dibangun di atas tanah seluas 75 ribu meter persegi.

Presiden Direktur Shell Indonesia Darwin Silalahi mengatakan, pembangunan pabrik berguna untuk memasok pelumas bermutu tinggi dari berbagai jenis, baik untuk pasar konsumer, transportasi, kelautan, dan industrial di Indonesia. Pabrik ini akan memproduksi merek-merek pelumas utama Shell, seperti Shell Helix, Shell Advance, Shell Rimula, Shell Omala, Shell Tellus, dan Shell Spirax.

“Kapasitas produksi yang diharapkan, yaitu 120 ribu ton untuk tahun ini dan menjadikannya sebagai pabrik pelumas terbesar di Indonesia yang dioperasikan oleh perusahaan internasional,” kata Darwin pada acara peletakan batu pertama (ground breaking) pabrik pelumas Shell Indonesia di Jakarta, Selasa (20/8).

Darwin melanjutkan, pembangunan pabrik tersebut menjadi tonggak baru yang menunjukkan komitmen Shell terhadap Indonesia dan mendekatkan produk-produk Shell ke pelanggannya. Pembangunan pabrik juga menandakan komitmen kerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak dan menumbuhkan perekonomian setempat.

Communication Manager Shell Indonesia Inggita Notosusanto menambahkan, niat untuk membangun pabrik tersebut sudah ada sejak November tahun lalu. Pabrik di Marunda merupakan pabrik keenam di negara-negara Asia Tenggara setelah Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.

Menurut Inggita, pabrik Marunda menjadi babak baru bisnis Shell karena tidak hanya sekadar menjual pelumas, tetapi juga sudah memiliki pabrik sendiri. Dengan adanya pabrik maka Shell Indonesia tidak perlu mengimpor pelumas lagi. Selama ini, kata Inggita, pihaknya harus mengimpor pelumas maupun bahan bakunya dari kilang-kilang yang ada di sejumlah tempat. Padahal, permintaan konsumen di Indonesia terhadap produk Shell terus meningkat.

“Insya Allah pembangunan pabrik ini hanya memerlukan waktu dua tahun. Pabrik diharapkan lebih mendekatkan rantai suplai agar menjadi lebih responsif,” ujarnya. Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat mengatakan, pemerintah mengapresiasi langkah Shell yang membangun pabrik di Indonesia dengan nilai investasi 150 juta sampai 200 juta dolar AS.

Menurut Hidayat, Kemenperin mendukung Shell yang akan menerapkan program pemerintah dalam mengembangkan industri berwawasan lingkungan atau industri hijau dengan mewujudkan komitmen pembangunan berkelanjutan (sustainable development). “Kami juga mengharapkan Shell dapat menjawab tantangan yang dihadapi industri pelumas sehingga mengurangi ketergantungan atas bahan baku impor,” ujar Menperin.

Menperin berharap proses pembangunan pabrik minyak pelumas Shell cepat terwujud dan bisa segera memberikan manfaat bagi pengembangan industri pelumas nasional. Dengan begitu, Shell juga akan memacu industri sejenis untuk selalu melakukan inovasi dan mengembangkan teknologi produksi sehingga menghasilkan produk pelumas yang andal, baik di Indonesia maupun dunia.

Hidayat menyebutkan, industri pelumas nasional menghadapi beberapa tantangan, di antaranya bahan baku yang sebagian besar masih diimpor serta produk sampingan berupa limbah berbahaya. Padahal, industri pelumas merupakan salah satu industri strategis dengan pertumbuhan yang pesat. Permintaan produk pelumas setiap tahun terus meningkat. Hal ini didorong semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, baik darat, laut, dan udara.

Saat ini, kata Menperin, ada sekitar 200 produsen pelumas di Indonesia yang mayoritas terletak di Pulau Jawa. Kapasitas produksi terpasang industri pelumas mencapai 700 ribu kiloliter per tahun dengan nilai omzet diperkirakan mencapai lebih dari Rp 7 triliun. Potensi produksi pelumas yang tinggi ini tentu dapat mendorong ekspor pelumas, di antaranya ke negara-negara di Asia Tenggara, Jepang, Cina, Timur Tengah, Korea Selatan, maupun Uni Eropa. “Kendalanya, saat ini belum terintegrasi antara industri hulu (upstream) dan hilir (downstream),” katanya. n rr laeny sulistyawati ed: eh ismail

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement