REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) Andrianto Handojo menilai sinergi riset, baik antarpelaku riset dengan pengguna atau pebisnis, maupun dengan pemerintah sebagai regulator di Indonesia, masih lemah.
"Masalah sinergi riset di Indonesia menjadi penting karena kegiatan riset masih didominasi oleh lembaga pemerintah dan perguruan tinggi sebesar 85 persen (data OECD, 2001),” kata Andrianto Handojo, di Jakarta, Selasa (20/8). Jumlah itu berbanding terbalik dengan rata-rata negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang 68 persen risetnya dilakukan langsung oleh pengguna atau pelaku usaha.
Dengan demikian, lanjut Andrianto, transfer hasil riset di lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi kepada pebisnis masih terkendala. Andrianto menegaskan, sinergi antar pelaku riset diperlukan karena terdapat 622 satuan kerja riset di Indonesia. Sebanyak 114 di antaranya di perguruan tinggi negeri, 301 perguruan tinggi swasta, 91 lembaga penelitian non-kementerian, 76 lembaga penelitian kementerian, 24 lembaga penelitian daerah, 8 lembaga penelitian BUMN, dan 8 lembaga penelitian swasta.
"Masing-masing satuan kerja melaksanakan kegiatan dengan sedikit sekali melakukan koordinasi sehingga duplikasi kegiatan terjadi," kata Andrianto. Menurut Andrianto, belum ada instrumen untuk memantau jenis riset yang dikembangkan setiap lembaga dan mekanisme koordinasi serta komunikasi di antara lembaga riset yang tersebar di Indonesia.
Andrianto mengemukakan bahwa sinergi antara pelaku riset dengan pengguna juga masih dihadapkan pada masalah klasik, yaitu komunikasi yang belum terbangun dengan baik. Sehingga, apa yang dihasilkan periset bukan yang dibutuhkan pengguna. Sebailknya, apa yang dibutuhkan justru tidak diriset.
Menurut Andrianto, dengan ketersediaan dana riset yang sangat terbatas, yaitu hanya 0,15 persen dari produk domestik bruto atau PDB (2011), diperlukan pembatasan atau pemusatan bidang-bidang riset yang akan ditangani dan peningkatan kerja sama erat antarpelaku dan pengguna riset.
Di lain pihak, Menristek Gusti Muhammad Hatta mengatakan, produksi massal dari hasil riset dan pengembangan teknologi di Indonesia masih sedikit. Hal tersebut janggal di tengah banyaknya kegiatan riset oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan.
Data Business Innovation Centre (BIC), menurut Gusti, menunjukkan hanya delapan persen dari invensi, yang terpilih dalam lima buku serial 100 penemuan baru yang dikeluarkan Kemenristek, yang memasuki tahap produksi massal. Menristek mengatakan kondisi tersebut memprihatinkan karena menunjukkan bahwa proses atau siklus inovasi riset, pengembangan, dan komersialisasi kurang berjalan efektif di tengah anggaran riset yang masih terbatas.
Salah satu pokok permasalahan dari sedikitnya jumlah riset teknologi yang masuk ke pasar adalah teknologi yang dikembangkan tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna, yaitu industri, pemerintah, dan masyarakat. "Hal itu dapat disebabkan oleh pengembang teknologi (inventor) tidak melibatkan atau berinteraksi dengan calon pengguna sejak riset dilakukan, sehingga hasilnya tidak sesuai harapan pengguna," kata Menristek.
Selain itu, lanjut Menristek, teknologi yang dikembangkan belum optimal karena tidak lebih produktif, murah, dan efisien. Hal tersebut, kata Gusti juga dipicu keterbatasan kapasitas, kompetensi peneliti serta infrastruktur sarana penelitian.
Untuk mengatasi persoalan ini, Menristek mengemukakan bahwa sinergi riset yang melibatkan antarlembaga litbang dan pengguna menjadi hal yang penting. "Pengembangan konsorsium riset atau inovasi, yang melibatkan unsur pengembang, industri, dan pengguna teknologi, dapat menjadi solusi terhadap masih sedikitnya jumlah teknologi yang masuk ke pasar," ujar Menristek.
Pengembangan konsorsium juga menjadi solusi, lanjut Menristek, bagi terbatasnya anggaran, sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur penelitian di lembaga litbang. n antara ed: fitriyan zamzami
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.