REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa mengecam keputusan MA yang membebaskan terpidana korupsi Rp 369 miliar, Sudjiono Timan. Menurut Harifin, keputusan membebaskan Sudjino penuh pelanggaran. Seharusnya, ujar dia, MA tak memproses peninjauan kembali (PK) terpidana korupsi yang hingga kini masih buron itu. “Kalau seseorang buron, tidak bisa mengajukan peninjauan kembali (PK). Dalam KUHAP yang bersangkutan harus hadir menandatangani surat pengajukan PK,” kata Harifin saat dihubungi di Jakarta, Senin (26/8).
Menurut Harifin, ada pelanggaran lain yang juga dilakukan majelis hakim PK, yakni komposisi susunan majelis hakim yang seharusnya diisi dengan dua hakim agung dan tiga hakim ad hoc. Namun, dalam memutuskan perkara Sudjino, majelis hakim hanya diisi tiga hakim agung dan dua hakim ad hoc. “Undang-Undang Tipikor itu mengatur bahwa hakimnya itu harus tiga ad hoc dan dua hakim agung, sedangkan dalam perkara ini tiga hakim agung dan dua hakim ad hoc,” katanya.
Majelis hakim juga dianggap tidak teliti dalam melihat prosedur PK Sudjiono Timan yang diajukan melalui istrinya. Kendati prosedur PK dinilai cacat namun majelis hakim PK tetap bergeming.
Ketua majelis hakim PK perkara Sudjiono Timan, Hakim Agung Suhadi, berkilah bahwa alasan mengabulkannya permohonan PK Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) itu sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Kalau di dalam proses hukum itu ada aturan Pasal 1 Ayat (2) KUHP diterapkan hal yang menguntungkan bagi terdakwa atau terpidana. Jadi, itu salah alasannya,” kata Suhadi di Jakarta, Jumat (23/8).
Senada dengan Harifin, Hakim Agung Gayus Lumbun menilai, putusan PK Sudjiono Timan penuh pelanggaran. Menurutnya, keputusan membebaskan Sudjino seharusnya batal demi hukum. “Putusan PK Sudjiono Timan batal demi hukum dan bisa diajukan kembali sesuai KUHAP,” kata Gayus.
Sebagai lembaga pengawas tertinggi penyelenggaraan peradilan, kata Gayus, MA perlu memeriksa putusan PK Sudjino. Ini demi mengupas apakah ada pelanggaran dalam penerapan hukum acara pada proses PK.
Di pihak lain, Komisi Yudisial (KY) bakal menelusuri kemungkinan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan majelis hakim MA dalam memutuskan perkara Sudjiono Timan. “Kami akan melakukan penelusuran secepatnya untuk mengetahui hal itu,” ujarJuru Bicara KY Asep Rahmat Fajar saat dihubungi Republika.
Apalagi, kata dia, saat ini lembaganya menerima banyak aduan dari masyarakat terkait kasus itu. Oleh karenanya, semua aduan tersebut akan divalidasi sesuai dengan mekanisme standar yang dimiliki KY.
Terkait substansi putusan majelis hakim, Asep menambahkan, KY menyerahkan sepenuhnya kepada semua pihak untuk menyikapinya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kendati demikian, KY tetap akan menelusuri kemungkinan adanya pelanggaran kode etik hakim MA dalam penanganan perkara ini. “Kasus ini masuk kategori menarik perhatian publik dan terbilang kontroversial,” katanya.
Seperti diketahui, Mahkamah Agung membebaskan mantan direktur utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan, yang juga terpidana kasus korupsi senilai Rp 369 miliar. Majelis hakim mengabulkan permohonan PK yang diajukan kuasa hukum pemohon.
Putusan PK ini membatalkan putusan kasasi oleh majelis hakim MA sebelumnya, yakni pada Desember 2004. Saat itu, majelis kasasi yang diketuai Bagir Manan dengan anggota Artidjo Alkostar, Parman Suparman, Arbijoto, dan Iskandar Kamil menjatuhkan vonis penjara 15 tahun terhadap Sudjiono. Tidak hanya itu, dia juga dikenakan denda Rp 50 juta dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.
Sudjiono diputuskan bersalah karena telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai Dirut PT BPUI. Dia dinyatakan terbukti mengalirkan dana sebesar 67 juta dolar AS ke Festival Company Inc, 19 juta dolar AS ke Penta Investment Ltd, dan 34 juta dolar AS kepada KAFL. Sudjiono juga menyelewengkan dana pinjaman pemerintah (RDI) yang jumlahnya mencapai Rp 98,7 miliar. n ahmad islamy jamil/antara ed: abdullah sammy
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.