REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan diminta lebih selektif dalam memberikan kredit impor. Hal tersebut ditujukan agar defisit transaksi berjalan dapat berkurang dan tercapainya stabilisasi ekonomi. Presiden Direktur Bank OCBC NISP Parwati Surjaudaja menyatakan, bank harus selektif dalam memilih kredit impor yang sifatnya produktif dan konsumtif. Kredit impor produktif contohnya adalah pembiayaan untuk impor mesin. "Tentunya sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas produksi. Hal seperti ini akan terus didukung," ujarnya, Senin (26/8).
Ekonom Bank Danamon Dian Ayu Yustina mengatakan, kredit impor harus turun, tetapi hal tersebut lebih pada keputusan dari setiap perbankan. Selain itu, kebijakan pengetatan rasio simpanan terhadap pinjaman (LDR) dan kenaikan giro wajib minimum (GWM) sekunder juga akan membuat perbankan membatasi laju kreditnya. "Pemerintah juga akan memberi insentif bagi industri-industri yang bergerak di bidang substitusi impor," katanya.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi Johansyah mengatakan, kredit impor pada Juni melonjak. "BI tidak mau pertumbuhan yang tinggi menimbulkan ketidakstabilan karena kaitannya dengan transaksi berjalan," ujarnya. Oleh karena itu, BI mengimbau bank untuk menahan penyaluran kredit impornya.
Defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2013 semakin melebar menjadi 9,8 miliar dolar AS atau 4,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, defisit transaksi berjalan pada triwulan I-2013 hanya 2,6 persen dari PDB. Salah satunya disebabkan oleh meningkatnya impor.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis BI, kredit impor mengalami kenaikan pada triwulan II 2013. Data menunjukkan, portofolio kredit untuk impor menembus Rp 57,19 triliun pada akhir Juni 2013, meningkat dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp 53,31 triliun. Sedangkan pada Januari, kredit untuk impor tercatat Rp 38,29 triliun.
Pertumbuhan kredit impor tertinggi terjadi pada bank BUMN. Portofolio kredit impor pada akhir Juni tercatat sebesar Rp 22,47 triliun, meningkat dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp 19,85 triliun. Sementara itu, pada Januari kredit impor bank BUMN tercatat sebesar Rp 8,96 triliun.
Meskipun demikian, Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja menyatakan, kredit impor tidak bisa serta-merta dibatasi. Menurutnya, hal tersebut tidak akan signifikan dampaknya untuk menekan defisit transaksi berjalan. Jahja mengatakan, yang harus diatur adalah industrinya, bukan cara pendanaan atau cara pembayarannya.
Hal yang sama diungkapkan Ekonom BCA David Sumual. Dia mengatakan, jika bank mengurangi kredit impor, ekonomi tidak bergerak. Ini tak lain karena banyaknya produk impor yang berupa barang modal dan mendukung industri.
Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto mengatakan, defisit transaksi berjalan adalah urusan pemerintah. Untuk mengurangi defisit, pemerintah harus mendorong ekspor, utamanya nonmigas, melalui diversifikasi. Kedua, dengan menekan impor bahan baku dan bahan penolong dengan cara pemerintah mendorong investor memproduksi bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri.
Ia juga mengatakan, penggunaan bahan baku dan bahan penolong substitusi yang berasal dari dalam negeri juga dapat mengurangi defisit. Pemerintah juga harus mengusahakan kembali swasembada pangan dan kemandirian pertanian sehingga impor hortikultura berkurang dan pemerintah harus mendorong energi alternatif dan menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) karena Indonesia adalah net importir. n satya festiani ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.