REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Jawa Timur (Jatim) menjadi fokus perhatian yang harus dibenahi calon pemimpin di daerah tersebut. Karena itu, gubernur Jatim terpilih nantinya harus memperhatikan nasib TKI.
Ketua Tim Relawan Pekerja-TKI Dita Indah Sari mengatakan, sumbangsih para TKI asal Jatim sangat besar. Menurutnya, nilai uang kiriman (remitansi) TKI yang mengucur ke Jatim mencapai Rp 1,98 triliun. “Itu baru yang tercatat di Bank Indonesia, belum yang dikirim via wesel, Western Union, atau dititipkan teman yang pulang,” kata Dita, Rabu (28/8).
Dita mengatakan, Kabupaten Ponorogo dan Tulungagung saja masing-masing mendapatkan kurang lebih Rp 1 triliun per tahun. “Bersaing ketat dengan nilai APBD-nya,” katanya. Karena itu, kata Dita, gubernur Jawa Timur terpilih nantinya tidak boleh main-main dalam mengurus TKI. Staf ahli Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) ini pun sempat mendiskusikan masalah TKI dengan salah satu calon gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, beberapa waktu lalu.
Dita menyimpulkan, menteri pemberdayaan perempuan era Abdurrahman Wahid (Gusdur) itu menekankan pentingnya komitmen Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim dalam menaikkan status dan kewibawaan TKI Jatim, dari 70 persennya TKI berkarakter informal menjadi formal.
Dita mengatakan, Khofifah memiliki gagasan bahwa Pemprov Jatim tidak boleh melarang orang bekerja atau bermigrasi. Yang bisa pemprov lakukan adalah mentransformasi TKI Jatim menjadi tenaga kerja terampil (skilled labour), tahan banting, cerdas, dan bekerja dalam kondisi kerja yang manusiawi.
Karena itu, menurut Dita, sebagai satu-satunya calon gubernur perempuan, Khofifah menekankan perlunya kehadiran pemprov yang lebih besar dalam pengawasan dan pelatihan. Saat ini, Jatim memiliki 16 balai latihan kerja (BLK) pemerintah dan 44 balai latihan kerja luar negeri (BLKLN). “Standar-standar pelatihan yang telah dibuat oleh pemerintah pusat harus dikawal ketat,” ujar Dita, mengutip apa yang disampaikan Khofifah.
Menurut Dita, untuk pengawasan dan pelatihan, pemprov mempunyai ‘gigi’ karena mengantongi otoritas yang dapat mengeluarkan atau mencabut izin operasional BLK/BLKLN. Sehingga, mekanisme penegakan hukum bisa efektif.
Dita menambahkan, pengawasan terhadap stakeholder penempatan TKI membutuhkan partisipasi publik. Menurut Dita, cagub Khofifah meyakini bahwa keterbatasan sumber daya pengawas Pemprov Jatim untuk memantau seluruh proses penempatan dapat dibantu dengan partisipasi warga dalam mengamati komunitasnya.
Antara lain, warga harus tanggap jika ada tetangganya yang perempuan di bawah umur direkrut, tanpa latihan, atau dokumennya dipalsukan. “Partisipasi semacam ini, meskipun kelihatan sederhana, sangat penting dalam menyelamatkan masa depan anak-anak perempuan kita,” kata Dita.
Lebih jauh, Dita mengatakan, Khofifah mengharapkan bagi TKI-TKI purna, sejumlah uang yang telah mereka hasilkan di LN harus dapat dikelola dengan benar. “Hujan duit di negeri orang masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri,” ujar Dita menirukan Khofifah.
Selain itu, strategi pengembangan ekonomi berbasis usaha kecil dan menengah (UKM) serta koperasi harus terintegrasi dan diprioritaskan ke kantong-kantong TKI. Sehingga, nantinya kerja di LN cukup dua-empat tahun saja. “Sesudahnya, bisa buka usaha di rumah sambil mendampingi anak-anak tumbuh dewasa,” kata Dita.
Sebelumnya, Dita juga mengatakan, problem ketenagakerjaan harus menjadi isu utama untuk menguji kelayakan calon gubernur Jatim. Gubernur Jatim terpilih harus memiliki perhatian besar terhadap situasi ketenagakerjaan. “Tugas pemimpin Jatim adalah membuat pekerja wareg, waras, dan wasis,” kata Dita. n ed: muhammad fakhruddin
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.