REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, kini semua keputusan mengenai penyelenggaraan Miss World berada di tangan pemerintah. Mereka, jelas Ketua MUI Amidhan, yang akan menetapkan apakah acara itu masih dapat berjalan atau sebaliknya.
Sehari sebelumnya, Corporate Secretary RCTI Adji S Soeratmadji menyatakan, kontes kecantikan ini tak mungkin dibatalkan. Panitia sudah banyak melakukan persiapan dan mengalokasikan dana hingga Rp 120 miliar. “Kami sudah menyampaikan aspirasi umat Islam yang tegas menolak Miss World,” kata Amidhan, Kamis (29/8). Lembaganya, jelas dia, hanya menetapkan fatwa penolakan. Dengan demikian, kewajiban moral sudah dijalankan.
Selanjutnya, giliran pemerintah memutuskan mau mempertimbangkan aspirasi umat Islam itu atau tidak. Ketika ditanya mengenai langkah lanjutan dan apa yang bakal terjadi saat Miss World tetap berjalan, Amidhan menyatakan, tak bisa memperkirakannya.
Menurut Amidhan, ia tak tahu apa yang kelak dilakukan ormas-ormas Islam. Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali berharap, panitia penyelenggara memperhatikan sikap MUI. Ia mengatakan, ulama menolak ajang kecantikan ini karena tak sesuai budaya dan Islam.
Ia juga mengakui, nilai yang diusung dalam Miss World sangat berbeda dengan budaya Indonesia. “Saya berharap seperti itu supaya tak ada kontroversi. Kita sekarang memerlukan ketenangan,” kata dia seusai menyampaikan pidato kunci dalam Pertemuan Ilmiah Internasional Bahasa Arab di Padang, Sumatra Barat, Kamis.
Cendekiawan Muslim Didin Hafidhuddin berharap, izin penyelenggaraan dicabut kembali. Kapolri perlu mempertimbangkan, ini bukanlah persoalan kecil. Pelaksanaan Miss World bakal berdampak sangat besar terhadap akhlak dan moral bangsa.
“Ini tidak main-main ya. Saya harap, Kapolri tidak menganggap ini persoalan sederhana,” ujar Didin. Dari sisi apa pun, kegiatan ini tak ada manfaatnya. Miss World hanya keinginan sekelompok orang yang ingin Indonesia dianggap negara maju.
Dia juga tidak percaya para kontestan yang bersaing di ajang tersebut akan mengenakan pakaian tertutup. Mumpung masih ada waktu, kata Didin, pihak berwenang ia minta untuk menarik kembali izin penyelenggaraan.
Menurut Sekretaris Jenderal Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Bachtiar Nasir, Miss World hanya berpihak pada kapitalisme. “Ini cuma teori yang dibuat, dengan diselenggarakan ajang maksiat ini di Indonesia investor datang dan produk Indonesia laku.”
Ia menilai, belum ada perhitungan secara ilmiah yang bisa membenarkan teori itu. Sebaliknya, ia meyakini kapitalisme bisnis fashion dan kosmetik bakal melonjak. Dan dalam hal ini, justru produk internasional yang akan dominan.
“Omong kosong dengan adanya Miss World sarung Bali akan diangkat ke dunia internasional,” kata Bachtiar. Ia menolak karena secara konsep dan ideologi sangat bertentangan dengan kearifan lokal bangsa Indonesia.
Menurut dia, ada kekeliruan logika ketika muncul pernyataan Indonesia harus berbangga karena menjadi negara Asia Tenggara pertama sebagai tuan rumah Miss World. “Ini bukan kebanggaan. Kita seharusnya merasa dilecehkan.”
Ia menyesalkan pula keluarnya surat izin dari Kapolri terhadap penyelenggaraan Miss World. Karena itu, ia merasa wajib menyuarakan ini kepada masyarakat dan pemerintah. MIUMI juga mengirim surat ke lembaga terkait dan melakukan pendekatan ke DPR. “Selebihnya, kami serahkan kepada Allah SWT,” ujar Bachtiar. n ani nursalikah ed: ferry kisihandi
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.